Pada
tahun 1920-an sampai 1930-an, Pulau Bali didatangi oleh banyak turis
mancanegara. Saat itu Bali masih menjadi bagian dari Hindia Belanda yang
dikuasai Belanda. Pulau ini disebut-sebut sebagai “pulau surga”. Apalagi
dibandingkan dengan bagian lain di dunia yang saat itu sedang mengalami perang.
Pulau indah ini memang pantas dianggap sebagai pulau surga.
Salah
satu yang membuat Bali terkenal, selain keindahannya dan budayanya, adalah para
perempuannya. Para perempuan Bali pada saat itu menggunakan pakaian yang bagian
dadanya terbuka, yang buah dadanya terlihat. Buah dada perempuan Bali kabranya
terlihat lebih kencang dan indah dibandingkan dengan perempuan Eropa. Saya
tidak tahu juga, sih, kepastiannya.
Saat
berkunjung ke Bali, topik tentang dada perempuan Bali ini sempat menjadi
perbincangan antara saya dan kenalan baru saya di sana. Kabarnya dada perempuan
Bali memang lebih baik karena mereka terbiasa menegakkan tubuhnya dan
mengangkat tangannya ke atas. Biasanya tangan digunakan untuk memegang sesajen
yang diletakkan di atas kepala. Dada penari akan lebih keren lagi kabarnya.
Entah
benar atau tidaknya teori ini. Akan tetapi, kalau dipikir-pikir masuk akal
juga, sih. Sebagai orang yang pernah belajar tari Bali saya masih ingat sikap
untuk menari Bali memang hampir selalu membusungkan dada, kedua tangan ditarik
ke belakang sampai kedua tulang belikat hampir bertemu. Menurut salah seorang
pengajar saya dulu, sikap yang keren itu adalah saat kedua tulang belikat di
punggung bertemu satu sama lain.
Saat
melihat-lihat karya seni di Bali, baik lukisan ataupun patung, banyak yang
menggambarkan perempuan tanpa penutup dada. Kadang-kadang sebagai perempuan
saya malu juga melihatnya. Pemandangan seperti ini kalau di layar TV tentunya
akan di-blur. Namun, setelah diamat-amati memang bentuk buah dada yang
digambarkan itu kencang. Saya dapat memaklumi apabila para seniman pembuatnya
memilih objek kini. {ST}