Beberapa waktu yang lalu adik saya
pulang kampung. Dia pulang ke Palangkaraya pada saat kota itu diselimuti asap.
Asapnya membuat banyak orang terganggu kesehatannya. Adik saya dan beberapa
temannya menjadi relawan untuk mengatasi masalah kesehatan akibat asap. Mereka
mengunjungi beberapa kampung yang letaknya tidak jauh dari Palangkaraya, ibu
kota provinsi Kalimantan Tengah itu.
Adik saya bercerita kalau penduduk
di kampung yang dikunjunginya itu banyak yang miskin. Saking miskinnya, banyak
yang putus sekolah. Banyak pula anak-anak perempuan yang terpaksa dinikahkan
pada usia muda. Orang tuanya memutuskan hal itu dengan harapan suami anaknya
akan menggung biaya hidup anaknya. Hal itu otomatis pula mengurangi biaya hidup
keluarga asal si anak perempuan.
Saat mendengar berita itu, saya
menerimanya seperti berita yang biasa saja. Namun lama-lama, saya menjadi sedih
memikirkannya. Saya sedih karena memikirkan kehidupan anak-anak perempuan itu.
Mereka kehilangan masa kecilnya dan terpaksa dewasa karena keadaan yang
memaksa. Mereka tidak memiliki hak untuk menentukan kehidupan masa depan mereka
sendiri. Sangat berbeda dengan kehidupan saya. Padahal, kami dilahirkan di
pulau yang sama.
Anak-anak perempuan itu, mungkin
juga anak-anak Dayak, sama seperti saya. Saya harus bersyukur karena dilahirkan
di keluarga yang berkecukupan. Itu yang
membuat nasib kami berbeda, dan perbedaan itu bukan karena usaha saya.
Kalau diamati, kemiskinan sebenarnya
tidak hanya ada di sekitar Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah itu. Di
Jakarta, ibu kota negara ini, banyak juga orang yang miskin dan terpaksa hidup
tanpa punya pilihan. Rasanya saya beberapa kali menuliskan pendapat saya
tentang ini di blog saya ini. Semoga saja di kemudian hari, saya memiliki
kesempatan untuk dapat turut mengurangi kemiskinan di negeri ini. Entah
bagaimana caranya. {ST}