Ana

Kamis, 11 September 2014

Siapa yang Memilih Pemimpin?




                Awal bulan September 2014 ini muncul wacana kalau pemilihan kepala daerah akan diubah menjadi seperti dulu lagi, dipilih oleh DPRD. Hal ini mengundang pro dan kontra. Saya termasuk yang kontra. Menurut saya, ini adalah langkah mundur bagi demokrasi.
                Sebenarnya, dipilih oleh DPRD pun tetap dapat dikatakan dipilih oleh rakyat. Bukankah orang-orang yang duduk di DPRD adalah wakil rakyat? Nah, inilah dia masalahnya. Mereka memang seharusnya wakil rakyat, namun belum tentu dapat mewakili aspirasi rakyat. Wakil rakyat dengan niat yang baik pun belum tentuu dapat menangkap dan kemudian menyampaikan aspirasi rakyat, apalagi wakil rakyat yang enggak bener. Wakil rakyat yang mencari keuntungan dari jabatannya. Dengan banyaknya kasus yang terjadi, kepercayaan rakyat kepada wakil rakyat yang terpilih semakin pudar, termasuk juga kepercayaan saya. Ditambah pula, saya adalah orang yang “aneh’, agak eksentrik bagi kebanyakan orang. Rasanya saya belum pernah mengenal wakil rakyat yang bisa mewakili keanehan saya itu.
                Langkah mundur demokrasi itu konon kabarnya dilatarbelakangi oleh anggaran yang membengkak karena harus membiayai pilkada di berbagai daerah. Bayangkan saja di daerah ini ada berapa ratus kabupaten dan puluhan provinsi. Sampai saat ini di Republik Indonesia ada 34 provinsi. Masih ditambah lagi dengan pemilihan kepala negara yang mencakup seluruh dunia. Bisa dibayangkan ongkosnya bisa untuk membeli ribuan ton beras.
                Menurut saya, pemilihan kepala negara oleh rakyatnya memang sudah layak dan sepantasnya dilakukan oleh sebuah negara demokrasi. Bila ada kendala di awal-awalnya, itu wajar saja. Justru kendala itu seharusnya membuat kita harus memperbaiki diri. Tata kelola pemilihan kepala negara harus dibuat lebih baik lagi, lebih efektif dan efisien. Kalau menghilangkannya justru suatu sikap yang kekanak-kanakan. Wong yang salah itu orangnya, kok. Eh, malah alatnya yang dihilangkan. Mbok, ya, yang diperbaiki itu manusianya
                Pemilihan kepala daerah secara langsung, konon kabarnya adalah ajang unjuk kebolehan bagi para pelaku politik uang. Jual beli suara terjadi di mana-mana dan disiarkan secara “terbuka”. Penggunaan kekuasaan juga terjadi tanpa rasa segan dan malu, seolah itu adalah hal yang biasa saja. Kalau hanya dilihat dari segi ini, pemilihan kepala daerah secara langsung memang tidak ada baik-baiknya, tapi bukan berarti dipilih oleh wakil rakyat juga akan lebih baik.
                Para wakil rakyat, yang beberapa waktu lalu ngetop dengan julukan caleg (sekarang udah enggak calon lagi, dong, yah!) juga sering melakukan politik uang dan menyalahgunakan kekuasaannya. Melakukan KKN deh singkatnya. Pemilihan mereka ini juga memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi dan ayang harus dikeluarkan oleh masing-masing caleg untuk memenangkan persaingan mendapatkan suara. Mereka-mereka ini, yang belum tentu berhati bersih dan bebas KKn, diminta mewakili rakyat untuk memilih kepala daerah. Pemilihan seperti ini untuk emnggantikan pemilihan secara langsung oleh warga negara, yang sudahpasti adalah pilihan warga tersebut. Heh? Yang bener aja.
                Sikap kontra itu ternyata tidak hanya terjadi di hati sanubari saya, tapi juga pada banyak orang. Yang paling menghebohkan adalah sikap kontra wagub DKI Jakarta. Basuki Tjahaja Purnama, wakil gubernur DKI Jakarta yang akrab disapa Ahok ini bahkan sampai mengundurkan diri dari partai politik tempatnya bernaung selama ini. Partai politik inilah yang mengusulkan Ahok menjadi pejabat, baik sebagai bupati di daerah kelahirannya maupun sebagai wakil gubernur di ibu kota RI ini. Nama partainya apa, silakan cari saja di situs-situs berita. Saya bahkan keberatan mencantumkan nama partai politik yang mengusulkan kemunduran ini di blog pribadi saya.
                Saya mengapresiasi sikap Kok Ahok ini. Pilihannya agak “gila” kalau dibandingkan dengan kebanyakan orang yang memilih jalan aman. Keluar dari partai politik yang mendukungnya, apalagi partai ini dipimpin oleh orang yang…gitu, deh, bisa dikatakan membahayakan karir dan kehidupannya sendiri. Semoga saja pilihannya ini tetap mendatangkan berkat bagi dia dan semua orang yang ada di sekitarnya. Saya juga berharap ada orang-orang lain yang berani memilih pilihan yang sama. Pilihan yang tidak hanya dialasi oleh uang dan memilih jalan pintas yang lebih mudah.
                Saya sendiri, walaupun kontra, tidak perlu melakukan langkah ekstrim yang membahayakan jabatan saya. Saya tidak perlu keluar dari partai atau berdebat keras dengan orang-orang yang selama ini mendukung saya. Saya hanya mengemukakan pendapat saya pada beberapa orang terdekat, dan juga menuliskannya di blog ini. Hanya sebatas itu. Entahlah ada gunanya atau tidak. Saya juga tidak tahu apakah mengemukakan pendapat di sini berpengaruh pada orang lain. Yang jelas pasti berpengaruh buat saya. Lega rasanya.
                Yeahhh…sekali lagi, rakyatlah yang harus memilih pemimpinnya sendiri di sebuah negara demokrasi. Pemimpin pilihan rakyat itu artinya langsung dipilih oleh rakyat, tanpa harus diwakili oleh perwakilan yang terdiri dari orang-orang yang tidak dikenal oleh rakyat. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini