Awal
bulan September 2014 ini muncul wacana kalau pemilihan kepala daerah akan
diubah menjadi seperti dulu lagi, dipilih oleh DPRD. Hal ini mengundang pro dan
kontra. Saya termasuk yang kontra. Menurut saya, ini adalah langkah mundur bagi
demokrasi.
Sebenarnya,
dipilih oleh DPRD pun tetap dapat dikatakan dipilih oleh rakyat. Bukankah
orang-orang yang duduk di DPRD adalah wakil rakyat? Nah, inilah dia masalahnya.
Mereka memang seharusnya wakil rakyat, namun belum tentu dapat mewakili aspirasi
rakyat. Wakil rakyat dengan niat yang baik pun belum tentuu dapat menangkap dan
kemudian menyampaikan aspirasi rakyat, apalagi wakil rakyat yang enggak bener.
Wakil rakyat yang mencari keuntungan dari jabatannya. Dengan banyaknya kasus
yang terjadi, kepercayaan rakyat kepada wakil rakyat yang terpilih semakin
pudar, termasuk juga kepercayaan saya. Ditambah pula, saya adalah orang yang “aneh’,
agak eksentrik bagi kebanyakan orang. Rasanya saya belum pernah mengenal wakil
rakyat yang bisa mewakili keanehan saya itu.
Langkah
mundur demokrasi itu konon kabarnya dilatarbelakangi oleh anggaran yang membengkak
karena harus membiayai pilkada di berbagai daerah. Bayangkan saja di daerah ini
ada berapa ratus kabupaten dan puluhan provinsi. Sampai saat ini di Republik
Indonesia ada 34 provinsi. Masih ditambah lagi dengan pemilihan kepala negara
yang mencakup seluruh dunia. Bisa dibayangkan ongkosnya bisa untuk membeli
ribuan ton beras.
Menurut
saya, pemilihan kepala negara oleh rakyatnya memang sudah layak dan sepantasnya
dilakukan oleh sebuah negara demokrasi. Bila ada kendala di awal-awalnya, itu
wajar saja. Justru kendala itu seharusnya membuat kita harus memperbaiki diri. Tata
kelola pemilihan kepala negara harus dibuat lebih baik lagi, lebih efektif dan
efisien. Kalau menghilangkannya justru suatu sikap yang kekanak-kanakan. Wong
yang salah itu orangnya, kok. Eh, malah alatnya yang dihilangkan. Mbok, ya,
yang diperbaiki itu manusianya
Pemilihan
kepala daerah secara langsung, konon kabarnya adalah ajang unjuk kebolehan bagi
para pelaku politik uang. Jual beli suara terjadi di mana-mana dan disiarkan
secara “terbuka”. Penggunaan kekuasaan juga terjadi tanpa rasa segan dan malu,
seolah itu adalah hal yang biasa saja. Kalau hanya dilihat dari segi ini,
pemilihan kepala daerah secara langsung memang tidak ada baik-baiknya, tapi
bukan berarti dipilih oleh wakil rakyat juga akan lebih baik.
Para
wakil rakyat, yang beberapa waktu lalu ngetop dengan julukan caleg (sekarang
udah enggak calon lagi, dong, yah!) juga sering melakukan politik uang dan
menyalahgunakan kekuasaannya. Melakukan KKN deh singkatnya. Pemilihan mereka
ini juga memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi dan ayang harus
dikeluarkan oleh masing-masing caleg untuk memenangkan persaingan mendapatkan
suara. Mereka-mereka ini, yang belum tentu berhati bersih dan bebas KKn,
diminta mewakili rakyat untuk memilih kepala daerah. Pemilihan seperti ini
untuk emnggantikan pemilihan secara langsung oleh warga negara, yang sudahpasti
adalah pilihan warga tersebut. Heh? Yang bener aja.
Sikap
kontra itu ternyata tidak hanya terjadi di hati sanubari saya, tapi juga pada
banyak orang. Yang paling menghebohkan adalah sikap kontra wagub DKI Jakarta.
Basuki Tjahaja Purnama, wakil gubernur DKI Jakarta yang akrab disapa Ahok ini
bahkan sampai mengundurkan diri dari partai politik tempatnya bernaung selama
ini. Partai politik inilah yang mengusulkan Ahok menjadi pejabat, baik sebagai
bupati di daerah kelahirannya maupun sebagai wakil gubernur di ibu kota RI ini.
Nama partainya apa, silakan cari saja di situs-situs berita. Saya bahkan
keberatan mencantumkan nama partai politik yang mengusulkan kemunduran ini di
blog pribadi saya.
Saya
mengapresiasi sikap Kok Ahok ini. Pilihannya agak “gila” kalau dibandingkan
dengan kebanyakan orang yang memilih jalan aman. Keluar dari partai politik
yang mendukungnya, apalagi partai ini dipimpin oleh orang yang…gitu, deh, bisa
dikatakan membahayakan karir dan kehidupannya sendiri. Semoga saja pilihannya
ini tetap mendatangkan berkat bagi dia dan semua orang yang ada di sekitarnya.
Saya juga berharap ada orang-orang lain yang berani memilih pilihan yang sama.
Pilihan yang tidak hanya dialasi oleh uang dan memilih jalan pintas yang lebih
mudah.
Saya
sendiri, walaupun kontra, tidak perlu melakukan langkah ekstrim yang
membahayakan jabatan saya. Saya tidak perlu keluar dari partai atau berdebat
keras dengan orang-orang yang selama ini mendukung saya. Saya hanya
mengemukakan pendapat saya pada beberapa orang terdekat, dan juga menuliskannya
di blog ini. Hanya sebatas itu. Entahlah ada gunanya atau tidak. Saya juga
tidak tahu apakah mengemukakan pendapat di sini berpengaruh pada orang lain.
Yang jelas pasti berpengaruh buat saya. Lega rasanya.
Yeahhh…sekali
lagi, rakyatlah yang harus memilih pemimpinnya sendiri di sebuah negara
demokrasi. Pemimpin pilihan rakyat itu artinya langsung dipilih oleh rakyat,
tanpa harus diwakili oleh perwakilan yang terdiri dari orang-orang yang tidak
dikenal oleh rakyat. {ST}