Memasang pohon natal telah menjadi
kebiasaan menyambut Natal di seluruh dunia. Pohon yang biasanya digunakan
adalah pohon cemara atau pinus. Kebiasaan ini dimulai di Jerman berabad-abad
yang lalu.
Diawali oleh Santo Bonifasius yang
menggagalkan seorang anak yang akan dipersembahkan di depan sebuah pohon oak.
Anak kecil bernama Asulf itu akan dipersembahkan kepada Thor, dewa pujaan orang-orang
saat itu. Bonifasius dengan sigap menangkis palu batu hitam yang akan
meremukkan kepala anak tersebut. Saat itulah Bonifasius mewartakan, bahwa tidak
akan ada lagi anak manusia yang akan dikurbankan. Yesus Kristus telah
mengorbankan dirinya sendiri untuk menebus umat manusia. Dan semua itu
dilakukan karena kasih-Nya yang besar kepada umat manusia.
Setelah mewartakan kabar baik itu,
Bonifasius menebang pohon oak tempat pengorbanan itu dengan kapaknya. Pohon oak
raksasa itu tumbang. Di balik pohon raksasa yang penuh darah itu, berdiri pohon
cemara kecil.
Konon, Bonifasius mengatakan kepada
orang-orang itu, “Pohon
kecil ini, pohon muda hutan, akan menjadi pohon kudus kalian mulai malam ini.
Pohon ini adalah pohon damai, sebab rumah-rumah kalian dibangun dari kayu
cemara. Pohon ini adalah lambang kehidupan abadi, sebab daun-daunnya senantiasa
hijau. Lihatlah, bagaimana daun-daun itu menunjuk ke langit, ke surga. Biarlah pohon ini dinamakan pohon
kanak-kanak Yesus; berkumpullah di sekelilingnya, bukan di tengah hutan yang
liar, melainkan dalam rumah kalian sendiri; di sana ia akan dibanjiri, bukan
oleh persembahan darah yang tercurah, melainkan persembahan-persembahan cinta
dan kasih.”
Cerita
lain mengisahkan kejadian saat Marthin Luther, tokoh reformasi Gereja, sedang
berjalan-jalan di hutan pada suatu malam. Marthin Luther terkesan pada keindahan
gemerlap jutaan bintang di angkasa yang sinarnya menembus cabang-cabang pohon
cemara di hutan. Kemudian ia menebang sebuah pohon cemara kecil dan membawanya
pada keluarganya di rumah. Untuk menciptakan gemerlapnya bintang seperti yang
dilihatnya di hutan, Marthin Luther memasang lilin-lilin pada tiap cabang pohon
tersebut.
Saat ini, tradisi menggunakan pohon
cemara sudah tidak banyak lagi ditemukan karena keterbatasan bahan. Pohon yang
biasa digunakan adalah pohon artifisial yang berbentuk seperti cemara.
Pohon-pohon ini dihias gemerlapan. Ada pula tradisi untuk meletakkan kado di
bawah pohon natal. Kado-kado ini adalah tanda kasih kepada orang-orang yang
kita kasihi.
Tradisi memasang pohon natal juga
terbawa ke Indonesia. Tentunya juga ke jemaat GKI Kwitang. Tahun ini, GKI
Kwitang membuat pohon natal dari bahan bekas. Pemakaian bahan bekas ini sebagai
tanda kalau jemaat GKI Kwitang peduli lingkungan. Bahan-bahan ini tidak hanya
berakhir di pohon natal, tapi juga akan digunakan / didaur ulang untuk hal
lainnya.
Di GKI Kwitang pusat, Jl. Kwitang 28, pohon
natal dibuat dengan menggunakan sachet bekas minuman bubuk yang dirangkai.
Cukup banyak jemaat yang memberikan bahan bakunya. Bahkan, ada pula yang rela
menjadi “pemulung” demi mengumpulkan bahan sachet
yang kebanyakan bungkus kopi itu. Dengan memanfaatkan bahan bekas
tersebut, diharapkan Jemaat GKI Kwitang turut mendukung pelestarian lingkungan.
Semangat
kebersamaan sangat nampak pada peran serta jemaat mengumpulkan dan merangkai
hingga pohon natal dengan berbahan bekas tersebut nantinya dapat berdiri dan
terhias indah. Rangkaian
ini dikerjakan oleh banyak orang di tempat yang berbeda-beda. Ibu-ibu dan
oma-oma pun bersemangat
membuat rangkaian dari bungkus bekas.
Semangat kebersamaan dan melestarikan
lingkungan itu terlihat pula di pos dan bajem yang menjadi bagian dari GKI
Kwitang. Di Bajem Jatimurni dan Pos Wismajaya, pohon natal dibuat dengan bekas
kemasan minuman air mineral. Pos-pos pelayanan lainnya juga merayakan Natal
tahun ini dengan semangat yang sama.
Apa dan bagaimana bentuk pohon natal
yang kita dirikan, biarlah hendaknya selalu menjadi lambang kehidupan dan cinta
kasih, seperti yang telah diberikan Yesus Kristus kepada seluruh umat manusia. {ST}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar