Libur
panjang di pertengahan bulan Agustus 2017 saya gunakan untuk berlibur ke Jogja.
Saya baru kembali ke Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2017 menggunakan pesawat
malam. Maskapai pesawat yang saya gunakan itu kemudian mengumumkan
keterlambatannya.
Pada
hari itu Bandara Adisucipto sangat padat oleh orang. Sepertinya mereka juga
seperti saya, orang-orang yang melewatkan akhir pekannya di kota ini. Hari ini
adalah hari terakhir liburan dan sudah waktunya pulang. Seperti calon penumpang
lainnya, saya ikut berbondong-dondong menuju ruang tunggu.
Ruang
tunggu bandara itu tidak kalah hiruk-pikuknya dengan bagian lainnya. Hampir semua
tempat duduk ada yang menduduki. Di gang-gang sempit antar kursi ada
barang-barang. Ada juga antrean orang untuk naik ke pesawat.
Berhubung
saya pergi sendiri, cukup mudah bagi saya untuk menemukan tempat duduk. Saya
senang sekali saat menemukan tempat duduk tepat di bawah lampu yang terang.
Saya bisa membaca sambil menanti. Tempat duduk itu juga letaknya tak terlalu
jauh dari pintu keluar ke apron.
Tak
lama kemudian saya sudah asyik dengan buku bacaan saya. Saya tidak terlalu
memerhatikan sekitar sampai ada orang yang menegur saya.
“Apakah
saya boleh taro barang di sini?” pinta seorang pemuda.
Setelah
melihat bawaannya, yang berupa sekotak bakpia, saya mengiyakan dengan ramah. Di
dekat tempat duduk saya itu memang ada space
cukup besar untuk meletakkan barang. Saya pun akan meletakkan bawaan saya di
situ apabila saya membawa barang bawaan yang cukup banyak.
Pemuda
itu meletakkan kotak bakpianya kemudian memanggil rombongannya. Rupanya
rombongan mereka terpencar-pencar karena tidak menemukan tempat duduk yang
berdekatan. Rombongan itu tidak hanya terdiri dari para pemuda sopan. Dalam
rombongan ini juga ada perempuan setengah baya agak bawel, dan anak-anak remaja
perempuan yang berisik sekali. Masing-masing orang membawa bawaannya
masing-masing. Bawaan itu kemudian diletakkan di dekat tempat duduk saya.
Timbunan barang itu ada yang menimpa kaki saya.
Rombongan
itu berkumpul di sekeliling saya. Mereka berdiri karena tidak mendapat tempat
duduk. Rasanya saya agak terganggu dengan kehadiran mereka. Selain menghalangi
cahaya lampu, suara berisik mereka yang terlalu dekat dengan telinga juga
menjadi polusi suara. Sempat terpikir untuk pergi saja. Namun saya tetap
bertahan saat melihat padatnya ruang tunggu bandara itu. Kalau saya pindah,
belum tentu saya mendapat temapt duduk yang ada lampunya seperti ini.
Perempuan
setengah baya dalam rombongan itu akhirnya mendapat tempat duduk yang agak
jauh. Sementara rombongannya masih berada di sekeliling saya. Saya sempat lega
sejenak karena dialah sumber suara yang paling keras. Namun kelegaan itu tidak
berlangsung lama. Beberapa menit kemudian ia datang lagi. Perempuan itu bahkan
duduk nyempil di samping saya tanpa lebih dulu mengucapkan permisi. Ia mengeluh
kalau bandara ini bisingnya seperti pasar. Sepertinya ia tidak sadar bahwa
mulutnya adalah salah satu sumber kebisingan itu.
Saya
lega sekali saat ada pengumuman untuk segera naik ke pesawat udara. Dengan
sigap saya melangkahkan kaki menuju antrean ke pesawat, meninggalkan keriuhan
ruang tunggu di belakang saya. {ST}