Tadi
malam saya pulang dengan menggunakan Grab Car. Seperti biasa, saya menggunakan
pembayaran nontunai. Saya memang lebih suka menggunakan pembayaran nontunai
karena lebih praktis dan tidak perlu mengotori tangan dengan memegang uang
tunai.
Mobil
yang saya pesan itu datang tak lama setelah saya memesan. Pengemudi segera
menjalankan mobilnya tak lama setelah saya masuk ke mobil. Kejadian ini biasa
saja, sih. Seperti yang biasanya terjadi.
Yang
agak berbeda adalah jalan yang dipilih oleh pengemudi itu untuk menuju rumah
saya. Saya sudah memeberikan jalan yang biasa saya gunakan tetapi ia memilih
jalan yang ditunjukkan oleh map, yang sepertinya memang lebih dekat. Karena
cukup yakin bahwa petunjuk map itu akan membawa kami ke rumah, saya tidak lagi
memerhatikan jalan yang dipilih. Say amalah melihat-lihat linimasa di media
sosial.
Jalan
yang dipilih oleh pengemudi itu ternyata berujung pada portal yang ditutup.
Kami terpaksa memutar balik untuk mencari jalan lainnya. Nah, di sinilah si
pengemudi itu mulai menunjukkan perilaku yang tidak menyenangkan.
“Ooo
diportal, ya? Apa sekarang sudah jam 9?” tanya saya sembari mengalihkan
pandangan dari layar monitor telepon genggam saya.
“Apanya
yang jam 9? Ini sudah jam 10!” jawabnya dari balik kemudi.
Saya
lihat di telepon genggam saya, memang sudah lewat jam 10 malam. Setelah memutar
balik itu, saya akhirnya memberi tahu jalan mana yang tidak diportal ujungnya.
Sepanjang jalan itu ia mengeluhkan susahnya mengantar ke tempat-tempat yang
jalannya diportal. Katanya itu membuat boros bensin dan bikin bangkrut, apalagi
bayarnya dengan menggunakan nontunai. Omelan tentang bangkrut itu diulang
berkali-kali sampai akhirnya saya menegurnya.
“Kalau
memang tidak mau mengantar orang yang bayar pakai nontunai ya enggak usah
diambil ordernya,” kata saya dari bangku belakang.
Perkataan
saya itu rupanya ditanggapi dengan kemarahan. Pengemudi itu kembali ngomel.
Kali ini mungkin lebih tepat disebut marah-marah, tentang betapa pembayaran
nontunai yang menyusahkan apalagi kalau sampai nyasar di jalan karena boros
bahan bakar.
Saat
itu saya sedang sangat kelelahan. Mendengar orang yang marah-marah dan
sebenarnya bukan urusan saya itu membuat saya makin lelah. Akhirnya saya
memutuskan untuk turun di supermarket dekat rumah saja. Supermarket itu
letaknya belum mencapai rumah saya.
“Memangnya
turunnya di sini? Sudah bikin bangkrut turunnya bukan di tujuan lag,” kata
pengemudi itu.
Saya
bertambah malas mendengarnya. Saya juga malas bertengkar. Kata-kata itu masih
dilanjutkan dengan beberapa kata lain yang tidak mau saya tuliskan di sini
karena tidak enak dibaca dan didengar.
“Iya
saya mau turun di sini. Saya juga tidak mau bapak masuk ke dalam kompleks rumah
saya. Ntar malah bangkrut ha ha ha,” ucap saya mencoba bercanda.
Setelah
mengucapkan “terima kasih” yang sepertinya tidak terlalu tulus, saya membuka
pintu mobil dan segera keluar. Sebelum saya menutup pintu, bapak itu berteriak,
“Kalau gak suka kasih bintang 1 aja!”
Permintaannya
segera saya kabulkan beberapa menit kemudian. Saya memberi bintang 1 untuk
pelayanannya hari itu. Bintang 1 dari 5 itu artinya pelayanannya sangat buruk.
Biasanya saya tidak pernah memberikan bintang 1 walaupun pelayanan dan cara
mengemudinya sanagt buruk. Ini adalah pertama kalinya saya memberikan bintang
satu. {ST}