Saat kecil dulu, saya sering
mendengar tentang wesel. Wesel adalah salah satu cara untuk mengirimkan uang
lewat kantor pos. Wesel bentuknya surat atau dokumen. Yang menerimanya bisa
menukarnya dengan uang di kantor pos yang ditunjuk.
Sepanjang hidup, saya belum pernah
mendapatkan wesel, sampai suatu saat rumah kami dihebohkan karena ada wesel
yang datang. Wesel itu ditujukan untuk saya. Saya, yang namanya tercantum di
wesel itu sangat kaget dan takjub. Ini adalah kali pertama saya menerima wesel.
Ketika melihat nama pengirimnya,
saya langsung menebak kalau wesel itu adalah honor menulis saya di sebuah media
nasional. Tulisan saya itu dimuat tanggal 16 Agustus 2015. Wesel yang saya
terima 3 hari setelahnya membuat dugaan saya itu makin kuat. Saya pun
mengabarkannya ke saudara-saudara. Walaupun nominalnya tidak seberapa, tetapi
rasanya sangat bangga mendapatkan wesel perdana.
Esoknya, saya membawa wesel itu ke
kantor. Saya menanyakan tentang wesel itu ke koordinator Kompas Anak, media
tempat tulisan saya diterbitkan itu. Dia pun heran mengapa saya mendapatkan
wesel. Kalaupun saya sampai mendapatkan kompensasi, seharusnya tidak dalam
bentuk wesel. Sekarang jamannya transfer.
Dengan niat baik, saya meminta mas
koordinator itu untuk menanyakan ke bagian keuangan. Apakah memang benar saya
yang berhak mendapatkan wesel itu. Setelah dicek, ternyata saya memang tidak
berhak untuk mendapatkan kompensasi yang dikirim berupa wesel itu. Kesalahan
input terjadi karena nama saya pernah tercatat sebagai kontributor. Dengan
demikian, wesel saya itu memang seharusnya dikembalikan.
Beberapa kenalan agak menyesalkan
tindakan saya yang melaporkan wesel itu. Sebenarnya, wesel itu bisa dicairkan
dan uangnya bisa digunakan untuk makan-makan. Toh, orang yang salah sebenarnya
tidak tahu kalau dia salah. Rasa-rasanya tidak ada yang dirugikan. Dengan
melaporkannya, wesel itu terpaksa ditarik kembali. Uang tidak bisa dicairkan
dan nama baik tukang input data tercemar karena kelalaiannya.
Mendengar perkataan mereka, saya
sempat menyesal juga, sih. Tetapi enggak lama, kok. Saya tahu diri untuk
mengembalikan apa yang bukan menjadi hak saya. Saya juga tahu, apa yang diambil
dari saya artinya tidak saya perlukan. Hmmm…. Mungkin saya akan mendapatkan
rezeki lain yang lebih banyak digitnya dibandingkan dengan yang tertulis di
wesel. :) {ST}