Saat
bulan Desember datang, di mana-mana terlihat atribut “Natal” seperti topi Santa
Klaus (Sinterlas), salju, pohon natal, rusa kutub, kado, dan Piet hitam
(temannya Santa Klaus). Atribut seperti ini biasanya ada di tempat-tempat
komersial dan juga di rumah-rumah. Kadang-kadang, ada juga yang menggunakannya
di tempat ibadah Kristen.
Akhir-akhir
ini makin santer penolakan orang untuk menggunakan atribut “Natal” karena
disangka sebagai atribut agama tertentu. Bahkan ada ormas yang merasa berhak
untuk melakukan razia. Syukurnya kelakuan ormas yang keterlaluan ini segera
ditertibkan oleh polisi.
Ada
alasan tertentu mengapa saya menuliskan “Natal” dengan tanda kutip. Atribut
“Natal” yang dinyatakan haram oleh beberapa kalangan itu sebenarnya bukanlah
atribut Natal yang sebenarnya. Atribut-atribut yang digunakan itu hanyalah
semacam tradisi, terutama di dunia barat dalam menyambut Natal. Natalnya
sendiri, yang dicatat dalam Alkitab, sangatlah sederhana. Sangat jauh dari
kemeriahan Natal selama bertahun-tahun ini.
Atribut
dan tradisi Natal itu terbentuk selama ratusan bahkan ribuan tahun. Lama-lama
atribut itu menjadi semacam identitas menjelang datangnya Natal. Istilah
kerennya akulturasi alias percampuran budaya. “Natal” bahkan menjadi musim
tersendiri. Wajar saja kalau banyak orang yang mengidentikkan atribut itu
dengan Natal. Orang-orang beragama Kristen yang merayakan Natal saja banyak
yang mengira demikian, apalagi yang agama dan kepercayaannya berbeda.
Razia
atau sweeping yang diadakah oleh
ormas memancing emosi banyak orang. Kebanyakan teman-teman saya yang sesama
Kristen bereaksi cukup keras karena merasa ini adalah perlakuan diskrimininasi.
Mereka merasa kebebasan beragamanya terancam. Beberapa yang lain mengecam
karena sebenarnya tidak semua orang keberatan menggunakan atribut itu. Razia
oleh pihak yang tak berwenang adalah sesuatu yang ilegal. Saya juga turut
mengecam tindakan razia oleh ormas yang tidak mau saya sebutkan (tuliskan)
namanya itu. Bukan karena saya takut, lo. Tetapi karena saya tidak mau nama
ormas itu mengisi blog saya ini. Namun, saya dapat memahami kalau sampai ada
yang keberatan menggunakan atribut “Natal” itu.
Penolakan
terhadap atribut “Natal” itu sebenarnya sudah lama. Hanya saja akhir-akhir ini
bertambah santer karena adanya media sosial dan seseorang yang diduga menista
agama. Perbedaan agama menjadi bertambah runcing dan dianggap persoalan.
Padahal bila kita memandangnya dari sudut lain, perbedaan itu bukanlah
persoalan sama sekali.
Beberapa
tahun yang lalu, saat bekerja di sebuah perusahaan retail, saya pernah
mengepalai sebuah tim kecil. Tim kami bertugas di sebuah toko swalayan yang
saat menjelang Natal diminta menggunakan topi santa. Saya tahu beberapa anggota
tim saya ada yang keberatan, namun mereka enggan mengungkapkannya. Saya yang
biasanya tidak terlalu peka itu kali itu dapat menangkap ketidaksukaan beberapa
orang itu lewat raut wajah mereka yang cemberut saat mengenakan topi. Penampilan
mereka enggak matching sama sekali
dengan Sinterklas yang biasanya selalu tampil ceria penuh tawa ho ho ho.
Akhirnya saya memutuskan kami semua, satu tim, tidak
menggunakan topi santa. Mereka yang tadinya cemberut itu langsung tersenyum
lega. Saat itu saya dapat memahami kalau mereka sampai keberatan. Tentunya
mereka mengira kalau menggunakan atribut itu maka akan menjadi
kekristen-kristenan. Walaupun punya kesempatan untuk menjelaskan kalau memakai
topi santa itu tidak akan membuat orang menjadi mendadak Kristen, saya tidak melakukannya.
Saya memilih lebih baik menjaga kekompakan. Seluruh tim tidak perlu menggunakan
topi santa, termasuk saya. Saya lebih memilih senyum tulus tanpa topi daripada melihat
“santa” yang cemberut.
Saat kasus topi santa muncul belakangan ini, saya jadi
teringat lagi tentang hal itu. Saya membagikan kisah ini kepada beberapa teman.
Entah bagaimana tanggapan mereka. Saya juga menambahkan informasi yang
sebenarnya mereka sudah tahu, topi santa itu bukan atribut Kristen. Topi santa,
tanduk rusa, salju, dll, itu tidak ada dalam cerita kelahiran Yesus Kristus
yang tercatat di Alkitab. Dengan demikian, menurut saya, ada atau tidaknya topi
santa sebenarnya tidak terlalu penting. Keberadaannya hanya sebagai aksesori.
Anehnya, ada yang mengira saya mendukung adanya razia
topi santa. Saya hanya mengernyitkan muka mendengarnya. Saya malas
menanggapinya, sepertinya dia juga sedang malas menggunakan otaknya. Kalaupun
dilanjutkan obrolannya, tetap saja bakalan buntu hasilnya. Buang-buang waktu
saja. Saya tidak mendukung razia oleh ormas itu. Mereka tidak berhak
melakukannya. Di mata saya, itu adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Walaupun menurut saya topi santa dan atribut lainnya
tidak penting-penting amat dalam perayaan Natal, bukan berarti saya keberatan
menggunakannya. Saya tetap menggunakan topi santa saat caroling di depan
gereja. Bagi saya topi santa semacam aksesoris yang gunanya untuk meramaikan
suasana. {ST}