Menginjak
Tana Toraja merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri. Saya memang sudah lama
ingin ke Tana Toraja dan melihat budayanya yang unik. Salah satu yang membuat
saya kagum adalah rumah tongkonannya yang indah.
Pada
kunjungan kali ini, saya mendapat kesempatan berkunjung ke Lembang Lea. Lembang
di Toraja artinya desa. Lembang Lea artinya Desa Lea. Desa kecil yang terletak
di pegunungan ini letaknya tak jauh dari Kota Makale, ibu kota Kabupaten Tana
Toraja
Kunjungan
ke Lembang Lea itu artinya juga berkunjung ke rumah tongkonan. Saya bahkan
mendapat kesempatan untuk menginap di dalam rumah tongkonan. Senang sekali
rasanya.
Setiap
rumah tongkonan memiliki pakem yang sama. Rumah panggung berbahan kayu itu
terdiri dari 3 ruangan, yaitu bagian depan, tengah, dan belakang. Semua rumah
tongkonan menghadap ke utara. Di bagian depannya ada lumbung untuk menyimpan
hasil panen dan bahan makanan. Bagian luar rumah itu dihiasi dengan ukiran khas
Toraja.
Beberapa tongkonan di bagian depannya dihiasi dengan
tanduk kerbau. Tanduk kerbau ini adalah tanda bahwa penghuni tongkonan itu
pernah mengadakan upacara kematian di mana kerbau itu dijadikan korbannya.
Tongkonan tempat saya menginap itu terletak di
pegunungan berhawa sejuk. Saya menduga malamnya akan dingin sekali. Saya sudah
menyediakan perlengkapan penghangat tubuh seperti jaket, syal, kaos kaki, dan
juga kain-kain yang rencananya saya gunakan sebagai cadangan selimut.
Bagian dalam rumah tongkonan |
“Bermalam di rumah tongkonan itu hangat,” kata seorang
penghuni tongkonan.
Saya tidak percaya mendengarnya. Tentu saja dia merasa
hangat karena dia sudah terbiasa tinggal di situ. Bagi saya belum tentu.
Ketidakpercayaan saya bertambah karena siang hari di tempat itu sudah terasa
sejuk, apalagi saat malam.
Saya pun kemudian pergi tidur dengan perlengkapan
“musim dingin”. Hanya beberapa menit setelah merebahkan badan di kamar tengah
tongkonan, saya merasa gelisah. Saya gelisah karena kegerahan. Tak lama
kemudian, perlengkapan “musim dingin” saya sudah teronggok di ujung tempat
tidur. Saya hanya mengenakan pakaian tidur yang biasa saya kenakan. Ternyata
melewatkan malam di dalam tongkonan tidak sedingin yang saya kira.
Esoknya, saya terbangun dengan segar. Tidak demikian
dengan teman-teman saya yang bermalam di rumah beratap seng. Mereka kedinginan
dan tidak bisa tidur semalaman. Apalagi ditambah dengan kucing-kucing yang
berjalan-jalan di atas atap.
Menurut orang-orang Toraja yang tinggal di situ,
bagian dalam tongkonan memang hangat di saat malam, dan adem di saat siang. Itu
karena terbuat dari bahan kayu. Rumah beratap bambu bahkan lebih adem lagi di
siang hari. Itu membuat tongkonan menjadi lebih berharga dibandingkan dengan
rumah biasa. {ST}
Baca juga: