Pagi
itu saya agak kesal pada pengemudi mobil yang saya pesan via Grab. Aplikasi
yang ada di telepon genggam saya itu menunjukkan bahwa mobil pesanan saya sudah
datang. Saya pun terbirit-birit lari keluar rumah. Namun mobil itu tidak ada di
depan rumah. Mobil itu bahkan tidak berada di jalan rumah saya.
Setelah
melihat lagi ke layar telepon genggam, ternyata mobil itu bergerak menjauh.
Saya pun segera menelepon pengemudinya. Mobil pesanan saya itu nyasar. Setelah
memberikan beberapa petunjuk jalan, saya menunggu lagi namun tetap saja mobil
itu tak kunjung datang.
Yang membuat saya kesal karena pengemudi itu sudah
klik “arrived”. Artinya secara sistem
ia sudah tiba di tempat pemesanan dan penumpang sudah bersamanya. Itu artinya
saya harus membayar transaksinya bila mau membatalkan. Saya tidak rela membuang
uang saya untuk itu.
Saat
itu saya berencana untuk melayat ibu teman saya sebelum ke kantor. Jenazah ibu
itu disemayamkan di Rumah Duka Gatot Subroto. Rencana itu akan membuat saya
sedikit terlambat untuk ke kantor. Saya mengambil risiko itu karena hari itu
juga adalah hari pemakaman ibu teman saya itu. Saya menyempatkan diri untuk
dapat hadir walaupun sebentar.
Saya
kembali menelepon pengemudi mobil itu. Sekali lagi saya memberikan petunjuk
jalan untuk sampai di rumah saya. Petunjuk jalan itu saya sampaikan dengan
sejelas-jelasnya supaya dia tak perlu lagi bertanya atau membuat aplikasi GPS.
“Jelas” itu sepertinya menurut saya karena nyatanya sang pengemudi itu tetap
nyasar.
Setelah
30 menit berlalu, mobil pesanan saya itu tak kunjung tiba. Saya bertekad untuk
meneleponnya satu kali lagi saja. Saya akan komplain ke orang tersebut, dan
juga ke perusahaannya. Setelah itu saya akan mencari jalan lain untuk pergi. Lebih
baik kehilangan uang daripada kehilangan waktu. Sayang sekali rasanya membuang
waktu yang sangat berharga.
Saya
langsung mengomel sesaat setelah telepon tersambung. Bapak itu awalnya juga
berargumen, namun akhirnya dia meminta maaf. Saat saya tanyakan lokasinya,
ternyata dia sudah berada di jalan rumah saya. Hanya saja dia berada di sisi
yang salah. Saya pun akhirnya mengalah. Saya tetap akan menggunakan jasanya.
Saat
duduk di kursi belakang, saya dapat melihat rambut bapak itu yang berwarna
keperakan. Ia sudah tak lagi muda. Saya pikir dia belum setua itu. Paling tidak
foto tampak depannya tidak tua-tua amat. Saya tetap menyampaikan keluhan saya,
terutama karena dia sudah klik seenaknya.
“Siap!”
jawabnya saat saya mengulang kembali menyampaikan tempat tujuan saya.
Dalam
perjalanan itu, dia bercerita bahwa saat itu adalah minggu keduanya “narik”.
Dia belum terlalu paham teknologinya. Sebelumnya dia hanya menggunakan pesawat
teleponnya untuk telepon dan sms. Dia juga bercerita daripada nganggur setelah
pensiun lebih baik jalan-jalan sekalian cari uang tambahan.
Setelah
mendengar ceritanya, saya mengangguk-angguk paham. Pantas saja dia kurang paham
teknologinya. Bagi orang-orang generasi bapak itu, memahami teknologi saat ini
memang perlu perjuangan khusus. Perubahan gaya komunikasi via teknologi itu
bukanlah hal yang mudah dipelajari apalagi dilakukan dalam waktu kurang dari 2
minggu.
“Bapak
tahu, kan, tempatnya?” tanya saya lagi saat mobil yang kami tumpangi terkena
macet.
“Tahu,
lah. Saya pensiunan tentara,” jawabnya.
Rumah
duka yang akan kami datangi itu adalah bagian dari RSPAD Gatot Subroto. Sebagai
tentara tentu saja bapak itu tahu. Mungkin dia juga pernah mendapatkan
pelayanan kesehatan dari RS itu. Benar saja, Bapak itu membawa mobilnya
memasuki pintu gerbang ke rumah duka.
“Stop!
Rumah dukanya yang itu,” kata saya ketika mobil itu tetap melaju ke arah yang
salah.
“Maaf,
saya kira yang di sana. Teman saya pernah di sana,” ujar bapak itu.
Arah
yang ditunjuk oleh bapak itu adalah kamar jenazah. Saya tahu karena seorang
kerabat saya yang meninggal pernah juga menjadi penghuni sementara kamar
jenazah itu.
“Ooo…
Itu kamar jenazah, Pak. Kalau ini rumah duka, yang tempat didatangi oleh
orang-orang itu, lo,” sahut saya.
Bapak
itu sudah bersiap-siap untuk memutar kendaraannya menuju ke rumah duka yang
saya maksud tetapi saya menghentikannya. Saya memilih untuk turun dari
kendaraan di situ saja. Bapak itu berkali-kali meminta maaf karena tidak sesuai
harapan. Saya mengiyakannya. Sebenarnya saya sudah memaafkannya saat melihat
rambut ubanannya yang keperakan. Saya juga tidak jadi mengajukan komplain ke
perusahaannya. {ST}