Saya langsung memotret tiang ini
saat berjalan-jalan sore di kota Palangkaraya. Saya mengenali tiang itu. Tiang
itu adalah tiang telepon umum koin. Telepon umum koin itu menjadi semacam
mainan bagi saya waktu kecil dulu.
Telepon umum itu letaknya tak
terlalu jauh dari rumah kami. Dalam perjalanan ke sekolah ataupun pulangnya,
kami bisa memilih rute yang melewati telepon umum koin itu. Saat itulah kami
sering iseng menggunakan telepon umum koin itu. Kami itu maksudnya adalah saya
dan kakak saya. Itu adalah anggota tetapnya. Selain kami berdua, ada beberapa
teman lain yang juga suka menggunakannya.
Saya memilih kata iseng menggunakan
karena itu memang perbuatan iseng. Sebenarnya kami tidak perlu menelepon sama
sekali. Kami menelepon ke rumah dan menanyakan keadaan rumah atau menu makan
siang. Pertanyaan itu dapat kami ajukan langsung tanpa bantuan telepon umum
koin. Hanya dalam waktu beberapa menit, kami sudah tiba di rumah.
Selain menelepon ke rumah sendiri,
kami juga menelepon ke beberapa rumah teman dan saudara. Saya baru ingat,
ternyata saat itu tidak semua rumah teman saya memiliki telepon rumah. Hanya
beberapa keluarga saja yang punya termasuk keluarga kami. Akhirnya tidak
terlalu banyak orang yang bisa ditelepon.
Salah satu tindakan paling konyol
yang terkait dengan telepon umum itu terjadi pada suatu sore yang cerah. Hari
itu saya dan kakak saya sepakat bermain telepon umum koin itu. Dengan berbekal
beberapa uang koin Rp 100, kakak saya bersepeda ke telepon umum koin itu. Ia
kemudian menelepon ke rumah kami. Saya yang mengangkatnya. Kami kemudian
ngobrol. Konyol, kan?
Saat ini, tiang itu tidak lagi
menjadi telepon umum. Tiang itu hanya sekedar tiang yang tidak terlalu jelas
gunanya apa. Dapat dimaklumi kalau sekarang telepon umum sudah tak digunakan
lagi. Orang yang dapat dikatakan melarat pun punya telepon genggam. Telepon
koin sudah tak ada lagi yang menggunakannya. Telepon koin telah menjadi sejarah. {ST}