Seorang
kerabat saya mengatakan tekanan darahnya sering tinggi, apalagi kalau sedang
marah atau sebal. Tekanan darahnya kabarnya pernah berubah-ubah naik turun
hanya dalam waktu singkat. Saya menjadi tertarik mendengarnya. Unik juga, ya.
Ternyata
yang membuatnya “naik darah” adalah orang yang mengecek darahnya. Kalau
orangnya ramah, maka tekanan darahnya normal. Kalau orangnya jutek, maka
tekanannya tinggi. Tekanan darah tinggi itu masih ditambah dengan wajah yang
merengut kesal.
Saya tertawa
mendengar penjelasannya itu. Saat diceritakan dengan ekspresif, kesannya lucu.
Namun setelah dipikir-pikir sepertinya tidak lucu sama sekali. Malah agak
memprihatinkan. Tekanan darah yang berpengaruh pada kesehatan, kok, tergantung
pada orang lain.
Dulunya, saya juga
pernah seperti itu. Saya menjadi lebih jutek dari orang yang ngejutekin. Saya
juga sering marah kalau sambutan orang tidak berkenan. Dengan bertambahnya
umur, saya tidak lagi menjadi seperti itu. Respon saya tidak tergantung pada
orang lain. Saya tetap bersikap ramah pada orang yang jutek. Saya juga bisa
marah pada orang yang terlalu ramah.
Perubahan saya itu
tidak terjadi secara instan, melainkan perlu proses selama bertahun-tahun.
Pengetahuan dan pengalaman membuat saya menjadi orang yang dapat memilih respon
apa saat terjadi sesuatu.
Kembali pada tekanan
darah yang naik, sepertinya kok malah rugi, ya, menjadi orang yang seperti itu.
Masa kesehatan tergantung pada sikap orang lain. Bagaimana kalau orang tersebut
memang bawaannya jutek. Masa kita harus “naik darah” karena orang yang bawaan
lahirnya seperti itu? {ST}