Teh poci dan cangkirnya |
Salah satu minuman
kesukaan saya adalah teh poci. Teh ini disajikan dalam poci kecil dari tanah
liat. Teh yang diseduh panas-panas itu biasanya disajikan dengan gula batu. Cangkir
kecil menjadi pelengkap untuk meminum teh yang diseduh dalam poci.
Dalam beberapa kesempatan menikmati teh poci, saya hampir
selalu menikmatinya sendirian. Sering kali, orang yang menemani saya tidak suka
cita rasa teh poci yang kental dan sepet itu. Bagi saya, justru di situlah
nikmatnya teh poci. Wangi dan rasa sepetnya itu yang membuat kangen. Manis dari
gula batu menambah cita rasanya.
Sebagai orang yang tidak terlalu suka rasa manis (karena
saya sudah manis), saya tidak pernah mengaduk gula batu yang terendam dalam cangkir
saya. Menghirup aroma wangi teh, dan perlahan meminum teh panas kental dengan
rasa manis yang samar-samar merupakan kenikmatan tersendiri bagi saya.
Teh poci ini ternyata hanya enak dinikmati ketika panas. Saat
mulai mendingin, saya sudah kesulitan untuk mencari kenikmatannya. Rasa
sepetnya berubah menjadi pahit. Pahit bercampur gula yang sudah mencair terlalu
banyak bukanlah rasa kegemaran saya.
Poci yang digunakan untuk menyeduh teh poci ini ternyata
tidak didesain untuk dicuci. Karena itu poci teh ini memang tidak dicuci.
Penjual teh poci pun mengakui hal ini. Yang mereka lakukan hanya membuang sisa
teh dan membersihkannya dengan air panas.
Kenyataan bahwa pocinya tidak dicuci menggunakan sabun tidak
menyurutkan minat saya pada teh ini. Seduhan air panas dan teh yang baru sudah
cukup membuat saya yakin kalau teh yang disajikan layak minum. Buat saya, air
panas dan teh itu adalah proses pencuciannya. Adakah yang mau menemani saya
menikmati teh poci? {ST}