Di awal tahun 2014 ini, saya
berkesempatan menghadiri pernikahan adat Karo langsung di Tanah Karo. Ini juga
menjadi kunjungan saya yang pertama ke Tanah Karo dan bersentuhan langsung
dengan budayanya. Pesta pernikahan itu diadakan di jambur, semacam pendopo,
ruangan besar dengan atap tanpa dinding.
Ketika akan menghadiri pernikahan
ini, saya sudah diingatkan tentang dresscode-nya,
yaitu menggunakan sarung. Sarung ini sudah saya siapkan dari jakarta. Saya
mendapatkan pinjaman sarung kotak-kotak berbahan sutra dari adik saya.
Tak disangka, ternyata sarung yang
saya gunakan itu saltum. Itu adalah sarung khusus untuk laki-laki. Kalau untuk
perempuan, motifnya tidak boleh kotak-kotak. Saya sempat panik sesaat sebelum
kakak teman saya membawakan sarung bermotif burung cendrawasih yang bisa saya
pinjam. Akhirnya sarung inilah yang menjadi pakaian saya selama kondangan.
Saya turut bergabung dengan keluarga
pihak pria, pihak yang mengundang saya. Saya turut menyaksikan upacara yang
artinya kurang saya mengerti. Sesuatu yang harus disyukuri karena di sekitar
saya ada beberapa orang yangbisa ditanyai tentang ritual adat khas Karo. Mereka
menjelaskan dengan sabar tentang beberapa ritual adat.
Salah satu yang paling berkesan bagi
saya adalah kedua pengantin yang bernyanyi dalam bahasa Karo. Nyanyian ini juga
diiringi dengan tarian. Keluarga dan undangan yang datang kemudian memberikan
uang kepada kedua mempelai yang sedang menari dan menyanyi ini. Memberikan
uangnya dengan menyelipkan uang kertas pecahan besar ke tangan kedua mempelai.
Uang itu kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kerabat yang sudah ditunjuk
untuk tugas itu.
Uang yang diberikan itu bermakna
memberikan restu dan bekal kepada kedua mempelai untuk hidup mereka kelak.
Seluruh uang yang mereka dapatkan saat itu akan diberikan kepada kedua
mempelai, tidak untuk “rebutan” pihak lain.
Pada
acara saat itu, kedua pengantin bisa menyanyi dan menari dengan fasih. Mungkin
mereka memang tumbuh dengan budaya seperti itu dan sudah siap ketika tiba
saatnya. Saya jadi membayangkan, apa jadinya kalau pengantinnya tidak bisa
menyanyi dan menari. Bagaimana kalau salah seorang mempelai bukan orang Karo
yang familiar dengan budaya itu?
Ternyata,
bagi sebagian orang Karo, bagian menyanyi dan menari ini juga menjadi bagian
yang cukup berat. Ada kalanya, nyanyian sang pengantin fals dan sama sekali
tidak merdu. Nyanyian itu malah menjadi bahan tertawaan semua orang yang hadir.
Wah! Pasti ini adalah bagian yang paling mengerikan bagi para mempelai bersuara
fals. {ST}