Dari
jamannya kecil dulu, saya adalah anak yang paling sering “mengoleksi” aneka
barang pertukangan. Kemungkinan ini karena waktu kecil dulu saya sering main ke
bengkel kayu om saya yang ada di belakang rumah kami. Saya cukup familiar
dengan tukul, paku, sekrup dan baut.
Di masa
dewasa saya, ketika bekerja di sebuah perusahaan retail besar, saya pernah
menempati posisi yang mengurusi peralatan pertukangan. Dalam tugas operasional
di toko maupun sebagai merchandiser yang membeli barangnya dari
supplier, saya cukup mudah mengingat tanpa harus melihat contekan. Tentunya hal
ini adalah hal yang harus disyukuri.
Bertahun-tahun ini, di kamar
dan di mobil saya selalu ada toolbox yang berisi perkakas seperti ini. Istilah
sononya alat-alat do it yourself (DIY). Khusus untuk di mobil, isi
toolbox saya agak berbeda dengan kebanyakan orang. Ada bagian kompartemen yang
berisi pembalut wanita yang saya letakkan di situ untuk keadaan darurat.
Statusnya hampir sama seperti kunci inggris, diperlukan saat darurat.
Koleksi
alat-alat pertukangan saya itu sudah bukan rahasia lagi di rumah. Bila mau
mencari tukul, maka toolbox saya langsung dicari-cari. Sayangnya di
rumah kami ada penghuni yang sering meminjam tapi jarang mengembalikan. Bila
tidak terus dipantau, maka alat-alat yang dipinjam itu menjadi tak terlacak,
hilang entah kemana.
Salah
satu kegiatan yang sering saya lakukan adalah merangkai manik-manik. Kegiatan
yang kadang-kadang menghasilkan uang ini memerlukan alat-alat khusus. Alat-alat
yang masih berkerabat dengan alat-alat pertukangan. Merangkai manik-manik juga
memerlukan tang. Tang yang digunakan juga bermacam-macam. Ada tang penjepit,
pemotong, juga penggepeng. Saat ini, hanya tang-tang inilah yang masih saya
miliki. Tang yang menjadi sahabat saya membuat rangkaian. {ST}