Saya mengenal seorang
anak yang suka membaca. Anak ini juga suka bercerita. Namanya sebut saja Bas. Saya
selalu senang bertemu dengan anak yang ceria ini. Saya mengenalnya di
perpustakaan gereja, di mana saya menjadi petugas penjaga perustakaan dan anak
itu adalah pengunjung tetapnya.
Saat pertama kali
mengenalnya, anak lelaki itu masih duduk di kelas 3 SD. Sekarang mungkin kelas
4. Saya tidak terlalu memantau tentang sekolahnya. Rasanya saya memang belum lama
mengenalnya tetapi merasa dekat karena memiliki minat yang sama. Kami sama-sama
suka membaca.
Selain mengenal anak
ini, saya juga mengenal kakeknya. Saya juga berteman dengan kakeknya. Kami
bahkan sering kali bertugas bersama dalam kebaktian. Selain berbincang tentang
kebaktian yang serius, anak ceria yang suka membaca itu juga menjadi bahan
obrolan saya dengan kakeknya.
“Bas mana?” tanya saya
pada teman sepelayanan saya itu.
“Bas lagi lemas. Dia
baru aja transfusi,” jawab kakeknya sambil tersenyum.
Berita itu sangat
mengejutkan bagi saya, namun bagi kakeknya hanya seperti berita biasa. Ternyata
itu memang berita biasa. Bas harus transfusi darah setiap 3 minggu karena talasemia.
Terus terang, saya sangat kaget dan sedih mendengarnya. Anak sekecil itu sudah
harus menerima transfusi.
Saya tahu talasemia
adalah penyakit yang berhubungan dengan darah. Saya baru mencari informasi
lebih banyak tentang penyakit ini setelah mendengar kabar tentang Bas, teman
kecil saya itu. Makin banyak saya tahu, makin sedih saya.
Talasemia adalah
penyakit kelainan darah genetik. Penyakit ini diturunkan oleh kedua orang
tuanya. Sampai saat ini, penyakit ini belum ada obatnya. Cara terbaik adalah
mencegahnya. Caranya dengan memeriksakan diri sebelum memiliki anak. Atau lebih
tepatnya sebelum menikah. Pilihan untuk tidak memiliki anak dapat
dipertimbangkan apabila kedua orang tua adalah pembawa gen talasemia. Bagi yang
sudah terkena talasemia, terapi terbaiknya adalah dengan transfusi darah.
Terapi seperti itulah yang dilakukan kepada Bas, teman kecil saya yang suka
cerita kungfu itu.
Penderita talasemia di
Indonesia ternyata cukup banyak. Mereka berusia 0 sampai 18 tahun. Mengapa
tidak ada yang tua? Karena memang segitulah harapan hidup orang yang terkena
talasemia. Ada beberapa yang mencapai usia 20 tahun, namun sangat jarang. Saya
makin sedih mengetahui hal ini.
Penderita talasemia,
bila sudah waktunya untuk transfusi, akan merasa lemas. Mereka harus segera
mendapatkan terapi sebelum wajahnya berubah pucat dan kehitaman. Proses itu
berlangsung rutin selama hidupnya. Dalam kehidupan Bas, itu berlangsung setiap
3 minggu sekali.
Saya tidak
bertanya-tanya lagi tentang penyakit Bas dan apa yang harus dialaminya untuk
dapat bertahan hidup. Saat terakhir kali bertemu dengannya, saya menanyakan
cita-citanya. Bas bercita-cita menjadi pesilat. Cita-cita yang wajar bagi
seorang anak laki-laki penggemar ceita kung fu. Tetapi… Hmmm… Mungkin suatu
saat nanti catatan ini akan saya lanjutkan lagi. {ST}