Pemilu adalah sesuatu yang bersejarah. Peristiwa ini sudah
pasti akan dicatat dalam lembaran sejarah negara ini. Banyak orang, termasuk
saya, ingin turut mengabadikan peristiwa ini. Saya membawa kamera ke TPS.
Dengan banyaknya telepon pintar yang
dilengkapi dengan kamera, lebih banyak lagi orang yang memotret proses pemilu
ini. Entah itu memotret dirinya sendiri sebagai foto selfie, atau juga memotret
suasana sekitarnya. Memotret di TPS menjadi hal yang biasa saja.
“Mbak, nanti kalau di bilik enggak
boleh motret, ya,” kata seorang pengawas yang sudah setengah baya.
Sebelumnya, saya juga mendengar
bapak itu mengingatkan pemilih sebelum saya. Setelah mendengarnya beberapa
kali, saya sudah paham dan sempat juga memikirkannya. Proses pencoblosan di
dalam bilik seharusnya menjadi proses yang rahasia, tidak boleh ada orang lain
yang tahu.
Dengan pengertian akan rahasia
proses ini, saya pun tidak bertanya lagi ke petugas TPS mengapa yang tidak
boleh hanya di bilik pencoblosannya. Saya sendiri juga tidak berniat untuk
mengabadikan surat suara saya, apalagi yang sudah dicoblos.
Siangnya, ketika saya membuka-buka
Facebook, ternyata banyak orang yang seperti saya, memotret dirinya sendiri di
TPS. Yang cukup mengagetkan bagi saya, ada juga yang memotret surat suaranya
yang sudah dicoblos. Seluruh temannya di Facebook menjadi tahu siapa yang
dipilihnya menjadi wakil rakyat. Dengan demikian, proses pemilihannya tidak
rahasia.
Entah apa motivasi di balik pamer
foto coblosan ini. Saya, awalnya mencoba tidak berkomentar. Toh, itu kan akun
Facebook dia sendiri, nggak perlu diurusi. Tapi akhirnya enggal tahan juga.
Yang jelas saya berkomentar di sini, di tulisan ini, di blog ini. Membeberkan
sesuatu yang seharusnya rahasia itu benar-benar tidak etis. Itu sama saja
membeberkan masalah pribadi ke seluruh dunia. {ST}