Saat
sedang berkendara dengan menggunakan transportasi online, saya hampir tidak pernah makan dan minum. Saya tidak tahu
sebenarnya apakah ada aturan untuk tidak makan dan minum. Yang jelas, sih,
peraturan itu ada di bus Transjakarta. Saya juga paham mengapa aturan itu
sampai diadakan. Tentunya untuk ketertiban dan juga kebersihan di kendaraan
umum itu sendiri.
Suatu
malam, saya memesan mobil online. Saya
menanti di Sevel, alias Seven Eleven. Minimarket tempat nongkrong yang saya
hampiri itu sangat dingin. Selain dingin karena pendingin udara, juga karena di
luar sedang hujan. Saya kemudian membeli cokelat panas.
Kemudian
saya menanti di luar sambil menikmati cokelat panas itu. Cokelat panas itu
ternyata benar-benar panas. Lidah saya rasanya sampai hampir melepuh saat
berusaha meminumnya dalam jumlah yang banyak. Saya akhirnya hanya menyesapnya
sedikit demi sedikit, sambil menikmati rasanya.
Belum
lagi habis minuman itu, mobil jemputan saya sudah datang. Saya pun kemudian
membawa minuman saya itu. Sayang juga kalau harus meninggalkannya sementara
isinya masih hampir penuh.
“Pak,
saya sambil minum, ya. Tadi minumannya belum habis,” kata saya meminta izin.
Saat itulah saya baru mengingat-ingat, sebenarnya
apakah ada aturan yang melarang untuk makan dan minum dalam mobil yang di-booking secara online. Mungkin itu pula sebabnya mengapa saya sampai meminta izin
segala. Pengemudi itu mempersilakan saya untuk minum.
Perjalanan malam itu berlangsung cukup lama. Hujan
rintik-rintik membuat perjalanan itu makin lama. Jalanan sangat padat oleh
kendaraan, baik roda 2 maupun roda 4. Saya kemudian menunjukkan jalan kecil,
sebuah jalan pintas yang sering saya lalui bersama Mocil, mobil kecil saya.
Jalan kecil itu memang sepi dari kendaraan, namun
kerap kali penuh oleh orang. Jalan kecil itu adalah jalan menuju pemukiman yang
cukup padat. Di ruas jalan ini juga banyak “polisi tidur”. Polisi tidur itu
tentunya dibuat supaya kendaraan yang lewat tidak terlalu ngebut.
Jalan pintas itu juga melintasi rel yang sering kali
menjadi biang kemacetan dan kekusutan lalu lintas. Saat kendaraan yang saya
tumpangi lewat, syukurnya kereta api tidak lewat. Kami dapat lewat dengan
leluasa. Akibatnya pengemudi mobil itu tancap gas sehingga kendaraan yang
dikemudikannya melonjak saat menyentuh rel. Lonjakan itu cukup keras
sampai-sampai minuman yang saya pegang pun terjatuh dan…tumpah.
Saya menjerit keras saat minuman panas itu menimpa
kaki saya. Tanpa sadar saya menendangnya. Akibatnya gelas berbahan kertas itu
tambah terguling. Isinya tertumpah sampai habis tak bersisa lagi. Setelah
menyadari apa yang terjadi, saya meminta maaf kepada pengemudi itu karena telah
mengotori mobilnya. Saya sungguh-sungguh berasa bersalah.
Setelah itu, saya sibuk mencoba membersihkan tumpahan
itu. Iya benar, mencoba. Apa yang saya lakukan itu sudah pasti tidak dapat
membersihkan mobil itu secara tuntas, hanya bis amengurangi sedikit genangan.
Mungkin pengemudi itu kesal karena mobilnya menjadi
kotor, namun dia tidak menunjukkannya. Ia tetap mengemudi dengan baik. Bahkan
jalannya kendaraan jauh lebih nyaman dibandingkan sebelum peristiwa tumpahnya
cokelat panas itu. Saya makin merasa bersalah lagi dibuatnya. Saya kemudian
bertekad untuk menambahkan biaya untuk membersihkan mobilnya.
Saat turun dari kendaraan, saya menyodorkan uang tunai
kepada pengemudi itu walaupun dalam sistem saya membayarnya dengan menggunakan
kartu. Pengemudi itu mendadak tersenyum cerah, apalagi saat saya katakan tidak
perlu mengembalikan. Saya juga tersenyum cerah karena merasa telah menebus rasa
bersalah karena menumpahkan cokelat panas.
{ST}