Pagi ini, saya memasuki lift bersama dengan sekelompok
anak-anak kecil yang mau berkunjung ke salah satu kantor redaksi. Anak-anak ini
berusia 4-5 tahun. Mereka masih bersekolah di TK.
Selain tingginya hanya sepinggang orang dewasa, ada
beberapa ciri anak-anak lainnya pada rombongan ini. Mereka berseragam lucu ala
anak TK, bawa botol minum lucu, berwajah lucu, dan juga berkomentar lucu.
Komentar-komentar lucu itu terlontar ketika mereka menunggu lift bersama dengan
saya.
Ketika masuk ke dalam lift, semua anak mendadak diam,
seperti juga orang dewasa pada umumnya. Sampai akhirnya seorang dewasa, yang
tampaknya turut mengiringi anak itu berkomentar memecah keheningan.
“Sesak, ya?” kata si mbak sambil melihat ke bawah, ke
arah segerombolan anak-anak yang terpusat di sudut lift itu.
“Abis, Mbak gendut, sih. Jadinya sesak,” kata seorang
anak dengan polosnya.
Seorang dewasa lainnya, yang datang bersama anak-anak
itu, langsung menegur anak yang baru saja bicara.
“Gak boleh ngomong gitu, ya…” kata Mbak itu sambil
menunjuk dengan jari telunjuknya.
“Kenapa gak boleh?” anak itu balik bertanya dengan wajah
polos.
Saya yang mendengar hal itu, akhirnya tidak tahan, dan
tertawa sambil menutup mulut. Polos banget komentarnya. Namun, saya jadi
berpikir juga. Anak itu, kan, berkata sesuatu yang benar, tapi kok dilarang. Wajar
kalau dia bertanya.
Suasana menjadi hening kembali. Tiba-tiba si Mbak yang
tadi melarang “gak boleh ngomong gitu” memecah kesunyian.
“Karena itu gak sopan,” demikian katanya. Rupanya dia
sejak tadi berpikir untuk menjawab si anak kecil lucu nan polos.
Sepertinya itu memang jawaban yang tepat. Tepat untuk si
anak kecil dan juga untuk orang dewasa yang ada di lift itu. Belum tentu semua
yang benar itu baik ketika diungkapkan. Saya mengangguk mengerti sambil
berjalan keluar lift, meninggalkan anak-anak kecil itu, yang masih melanjutkan
perjalanan ke lantai paling atas. {ST}