Baru-baru ini, saya membaca kabar
kalau orang tua Ade Sara, korban pembunuhan sadis itu, akan menjadi bintang
iklan untuk produk jamu. Produsen jamu itu memilih Pak Suroto dan Bu Elizabeth
karena sikap mereka yang memberikan inspirasi. Mereka memaafkan pembunuh anak
tunggalnya. Suatu sikap yang memang sangat langka sekarang ini.
Ketika pertama kali membaca berita
ini, saya cukup prihatin. Memaafkan itu bukankah seharusnya menjadi gaya hidup
bagi negara yang seluruh penduduknya beragama? Yeahhh…paling tidak, semua WNI
yang punya KTP ada agamanya secara tertulis. Dalam agama yang saya anut, agama
yang berlandaskan kasih, memaafkan adalah salah satu bentuk ibadah. Dalam agama
lain yang menjadi mayoritas di negeri ini, memaafkan bahkan dirayakan
besar-besaran dengan menu utama ketupat.
Ternyata memaafkan tidak semudah
yang diperkirakan. Banyak orang yang sangat susah untuk memaafkan. Mungkin saya
juga termasuk di dalam golongan orang ini, tergantung kesalahan yang dibuat.
Perilaku saling menghakimi menjadi sesuatu yang biasa dilakukan. Balas dendam
tidak hanya terjadi dalam dunia fiksi persilatan, tapi juga dalam dunia yang
kita huni saat ini. Tidak heran bila perilaku memaafkan menjadi semakin langka.
Awalnya, saya juga prihatin ketika
mengira kalau Pak Suroto dan Bu Elizabeth “menjual” sikap memaafkannya untuk
mendapatkan uang dan ketenaran. Namun, kali ini saya salah. Mereka tidak mau
menerima bayaran untuk menjadi bintang iklan. Sikap mereka yang menerima
tawaran bintang iklan itu justru menjadi jalan untuk menyebarkan gaya hidup
berlandaskan kasih. Gaya hidup yang seharusnya menjadi gaya hidup orang-orang
yang mengaku memiliki agama. {ST}