Dalam
sebuah seminar, saya duduk bersebelahan dengan 2 orang guru SDN yang mengajar
di Jakarta Timur. Mereka dari sekolah yang sama. Kedua orang guru ini duduk di
sebelah kanan dan kiri saya. Sebenarnya, mereka memiliki hak untuk duduk di
kursi yang mengelilingi meja bundar, namun ternyata jumlah peserta seminar ini
melebihi kapasitas ruangan. Karena itu kedua guru SDN ini kemudian mengambil
tempat duduk di dekat saya, perwakilan media.
Awalnya
kami hanya berbasa-basi. Lama-lama obrolan makin lancar, dan terjadilah curhat
para guru SDN ini. Menurut mereka, untuk memperbaiki sesuatu di sekolah, toilet
misalnya, mereka harus menunggu dana BOS dulu. Dana BOS, atau dana apa aja yang
berhubungan dengan pemerintah, hampir tidak pernah cair dalam waktu yang cepat.
Barang-barang yang rusak, tidak dapat langsung diperbaiki bila belum ada
dananya.
Kerusakan
yang dibiarkan itu akan membuat masalah baru. Toilet rusak atau tumpukan meja
kursi kayu akan membuatnya menjadi sarang nyamuk dan tikus. Nyamuk dan tikus
ini kerap kali mengganggu kesehatan anak-anak didiknya. Tumpukan barang bekas
itu juga membuat sekolah tampak kotor dan angker. Beredar gosip-gosip misteri
di beberapa sekolah terkait dengan toilet rusak. Ngomong-ngomong, toilet
sekolah yang berhantu ada di cerita Harry Potter juga lo. Nama hantunya Myrtle.
Selain
terkesan angker, ibu-ibu di sebelah saya itu juga mengeluhkan kurang kompaknya
guru-guru di sekolah untuk kampanye bersama. Misalnya untuk kampanye cuci
tangan, gunting kuku, bawa bekal dan tidak jajan sembarangan. Hanya guru-guru
tertentu yang peduli tentang hal-hal ini. Jadilah guru-guru itu dianggap
guru-guru galak. Kadang-kadang dibilang killer.
Hal
lain yang sering membuat guru-guru tidak berdaya adalah adanya pedagang di
sekitar sekolah yang lebih “berkuasa”. Biasanya mereka didukung oleh tokoh
masyarakat setempat. Tokoh masyarakat ini bisa juga diartikan dengan preman
setempat. Guru-guru tidak berdaya untuk “mengusir” mereka dan tidak mendekati
para siswa. Apalagi kalau mereka berjualan di luar pagar sekolah.
Ada
beberapa sekolah yang berani meminta bantuan kepada pemerintah setempat. Kepala
pemerintahan, entah walikota, camat atau
lurahnya, ada yang menurunkan satpol PP untuk membubarkan orang-orang yang
berjualan di sekitar sekolah itu. Para pedagang bubar kocar-kacir untuk
sementara. Tak laam kemudian, mereka kembali lagi dan “mencengkeram” anak-anak.
Ketika
mendengar curhat para ibu guru itu, saya jadi makin tertarik. Ketertarikan saya
itu membuat mereka bertambah semangat untuk curhat. Curhat itu disambung pula
oleh curhat ibu-ibu guru yang duduk di belakang saya. Kondisi sekolah tempat
mereka mengajar hampir sama dengan sekolah tempat ibu-ibu di sebelah saya.
Mendengar
curhat mereka, membuat saya sedih dan prihatin. Sekolah tempat mereka mengajar
itu adalah sekolah negeri yang terletak di ibukota negara. Itu saja kondisinya
sangat memprihatinkan. Bagaimana kabar SDN di pulau tempat saya dilahirkan, ya?
Kalimantan adalah pulau yang masih asing bagi banyak orang. Belum banyak
sekolah dasar negeri di pulau ini. Makin sedih rasanya membayangkan kondisi di
sana.
Ah, sedih doang mah enggak ada
gunanya. Saya harus melakukan sesuatu supaya membuat sesuatu lebih baik. Entah
bagaimana caranya. {ST}