Tanggal
5 Februari 2015 saya menyempatkan diri untuk kembali mengurusi perpanjangan
SIM. Proses sebelumnya terhalang karena saya tidak berhasil melewati ujian teori
untuk mendapatkan SIM. Di pagi hari yang berawan itu saya sudah bersiap untuk
ujian lagi.
Saya
sudah belajar dari kegagalan sebelumnya. Kali ini saya mempersiapkan diri
dengan baik. Saya membaca undang-undang dan juga aneka peraturan lalu lintas.
Membacanya tidak hanya sekali, tapi berkali-kali sampai saya bisa memahami
kalimat-kalimat panjang khas peraturan itu.
Tidak
hanya itu, saya juga mengunduh simulasi ujian di HP saya. Saya latihan
berkali-kali. Nilai yang didapat selalu di atas nilai yang disyaratkan untuk
dapat lulus ujian. Dengan berbekal persiapan seperti itu, saya berangkat ke
tempat ujian dengan percaya diri.
Berhubung
ini bukan kali yang pertama, saya sudah tahu mau melangkah ke mana tanpa harus
bertanya. Saya tiba di kelas ujian sesaat sebelum ujian dimulai. Kali ini saya
sudah siap dengan pensil dan dokumen-dokumen pelengkapnya.
Ketika
soal dibagikan, saya melihat soal-soal yang sama seperti yang ada di simulasi.
Dengan percaya diri saya menghitamkan kotak di lembar jawaban saya. Saat itu
saya yakin sekali kalau saya pasti akan lulus seperti di simulasi.
Hampir
sama seperti ujian sebelumnya, kami para peserta ujian juga diminta menunggu di
depan loket 5. Saya juga sudah tahu situasi di situ. Tempat duduk untuk
menunggu, tempat sampah, tempat jajan dan toilet sudah terpantau dari kunjungan
sebelumnya. Setelah menunggu cukup lama, hasilnya pun dibagikan.
Ketika
nama saya dipanggil, saya menuju loket dengan gembira. Saya yakin pasti lulus.
Namun ternyata…hasilnya tidak seperti harapan saya. Saya tidak lulus. Nilainya
sama dengan nilai di hasil tes sebelumnya, 12 dari 30 soal.
Saat
itu juga saya menjadi curiga apalagi hasil ujiannya ditulis dengan tulisan
tangan. Sempat terpikir untuk meminta melihat hasil ujiannya. Kalau memang
dicek dengan komputer seperti yang seharusnya, tentunya nilainya juga bisa
dilihat, dong. Namun niat itu belum saya laksanakan. Perut saya yang sangat
lapar sudah menunjukkan pengaruhnya pada bagian lain. Kepala saya mulai pusing.
Saya tahu, saya harus segera makan sebelum keadaan bertambah parah.
Keputusan
untuk menunda komplain itu juga karena saya kemungkinan akan lebih mudah marah
dan terpancing emosinya bila dalam keadaan lapar. Saya rasa lebih bijaksana
kalau saya membereskan urusan perut dulu.
Selagi
makan, sempat terpikir juga untuk membereskan urusan SIM dengan cara “cepat”.
Cara cepat yang tidak halal ini adalah memberikan uang pelicin kepada para
petugas polisi ini. Cara ini sudah umum digunakan sampai-sampai dianggap biasa
saja. Dari obrolan dengan sesama peserta ujian, tarif sogokannya tidak terlalu
mahal, hanya Rp. 600 ribu. Cukup murah bila dibandingkan dengan waktu yang
terbuang untuk ikut ujian.
Saat
ini, pintu jalur cepat lagi tertutup rapat karena kepolisian sedang menjadi
sorotan massa dan menjadi incaran KPK. Para oknum penerima suap itu tidak
terang-terangan membuka warungnya. Kalaupun ada yang yang buka warung, dengan
jujur dia mengatakan kalau saat ini belum bisa membantu dulu.
Setelah
agak kenyang, ada “malaikat” yang datang dalam pikiran saya. Saya diingatkan
kalau saya adalah orang yang cukup sering berdoa untuk bangsa ini supaya
menjadi bangsa yang jujur dan berjiwa besar. Bangsa yang memegang teguh
integritas. Kalau hanya berdoa pake mulut tapi kelakuannya kebalikannya kan
sama aja bohong. Memilih jalan cepat yang enggak terlalu mahal itu akan membuat
saya menjadi bagian dari bangsa tidak jujur yang berjiwa maling. Ih, enggak
deh, yaw!
Akhir
kata, saya memutuskan untuk kembali mengikuti ujian lagi. Saat itu saya akan
kembali dengan persiapan penuh. Saya akan belajar semua bahan-bahannya, bawa
makanan yang cukup supaya enggak kelaparan, bawa alat-alat dokumentasi, dan
bawa kartu pers. Kartu pers ternyata cukup sakti untuk melepaskan diri dari
oknum tukang palak. Mereka takut kebobrokannya diungkap di media. {ST}
Baca juga:
Mengurus Perpanjang SIM A
Baca juga:
Mengurus Perpanjang SIM A