Setiap
kali saya berkonsultasi ke rumah sakit, terutama ke dokter spesialis, selalu ada
tindakan yang disarankan.
Tindakan-tindakan medis itu menggunakan peralatan canggih paling mutakhir.
Peralatan canggih ini diharapkan dapat mendeteksi penyakit atau potensi
penyakit yang ada di tubuh pasien.
Untuk
menggunakan peralatan canggih itu, tentu saja ada biayanya. Kebanyakan biayanya
tidak murah. Biayanya tentu saja dibebankan kepada pasien atau perusahaan
asuransi yang menanggungnya. Biaya mahal itu bisa dipahami. Biaya itu adalah
pengganti investasi, biaya pemeliharaan dan juga untuk mengambil keuntungannya.
Walau bagaimanapun, rumah sakit juga adalah badan usaha yang harus mencetak
profit.
Dokter
yang berprkatek di rumah sakit adalah orang-orang yang ikut berkepentingan
dengan pemasukan rumah sakit. Menyarankan tindakan canggih dengan peralatan
canggih adalah salah satu jalan untuk mendapatkan pemasukan. Tak heran banyak
dokter yang kemudian menyarankan tindakan yang sebenarnya enggak perlu-perlu
amat untuk dilakukan.
Tindakan-tindakan
medis yang ditawarkan, yang sebenarnya tidak terlalu perlu dilakukan itu, tetap
dilakukan berdasarkan keputusan pasien dan keluarganya. Namun, keterbatasan
pengetahuan pasien membuat pasien dan keluarganya lebih memilih apa yang
disarankan dokternya. Maka, jadilah tindakan itu dilakukan. Hasilnya? Kita bisa
mengetahui kondisi tubuh dengan lebih detail. Kadang-kadang kondisi tubuhnya
baik-baik saja.
Bila
kondisi keuangan pasien cukup berkelimpahan dan tidak kekurangan, tindakan
medis apapun, termasuk yang enggak perlu-perlu amat itu, bukanlah masalah yang
berarti. Berbeda halnya dengan orang yang hanya memiliki uang untuk hidup
sehari-hari dan tidak ada perlindungan dari asuransi. Tindakan seperti itu akan
sangat memberatkan. Apalagi saat ini BPJS masih belum bisa dijadikan tumpuan
harapan bagi perawatan kesehatan.
Saya
pernah mendapat penawaran untuk menjalani tindakan dengan peralatan canggih
itu. Ada yang terkait dengan pencernaan, ada juga yang terkait dengan
reproduksi. Bisa dikatakan memang ada sedikit masalah itu di tubuh saya.
Perawatan yang saya lakukan selama ini hanya dari luar lewat obat-obatan yang
ditelan.
Khusus untuk pencernaan, saya pernah
menjalani endoskopi bertahun-tahun yang lalu. Akhir-akhri ini saya ditawarkan
untuk endoskopi lagi ketika saya terpaksa mengunjungi dokter spesialis.
Katanya, peralatan yang digunakan saat ini sudah jauh lebih canggih
dibandingkan pada saat endoskopi saya yang terakhir.
Penawaran itu tidak terlalu menarik
perhatian saya. Saya menggolongkannya dalam tindakan yang tidak perlu-perlu
amat untuk dilakukan. Saya mengambil kesimpulan itu karena kondisi tubuh saya
yang sudah membaik dengan cepat. Saya pun tahu mengapa sakit maag saya sampai
kumat. Kalaupun dilakukan endoskopi, kemungkinan akan ditemukan luka di bagian
lambung.
Pendapat saya ini bukan berarti saya
meremehkan masalah kesehatan saya sendiri, lo. Saya juga bertanya apa yang
harus saya lakukan pada dokter supaya saya terbebas dari masalah ini.
Jawabannya sama dengan dokter-dokter yang sebelumnya merawat saya: jangan
terlambat makan, jangan makan yang asem dan pedes, dan jangan stress. Luka di
bagian lambung yang sudah terlanjur terjadi bisa diobati dengan obat yang
diminum secara rutin.
Kali ini saya mengambil keputusan
untuk tidka dulu melakukan endoskopi. Selain karena belum diperlukan, saya juga
menyayangkan biaya yang akan dikeluarkan. Lebih baik saya menjaga diri saya tetap
sehat dan biayanya bisa dialihkan untuk keperluan lainnya. {ST}