Akhir-akhir ini ada
wacana tentang kenaikan harga rokok yang konon kabarnya akan menjadi di atas Rp
50.000. Harga itu termasuk mahal untuk kebanyakan orang Indonesia. Tujuannya
tentu saja untuk mengurangi perokok di negara ini.
Dari data yang saya
lihat di TV, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah perokok aktif
tertinggi di dunia. Saya tidak ingat angka tepatnya berapa, namun itu lebih
dari 50%. Angka ini tidak hanya sekedar angka, tetapi memang ada buktinya.
Sebagian besar orang di sekitar saya juga perokok, atau pernah merokok.
Penggunaan rokok ini
membuat nilai ekonominya sangat besar. Transaksi rokok setiap harinya mencapai
ratusan triliun. Pemasukan negara lewat cukai rokok juga sangat besar. Demikian
pula banyaknya orang yang bergantung pada industri rokok. Orang yang tergantung
pada rokok ini tidak hanya para perokoknya, orang-orang yang mencari nafkah di
industri ini juga harus dihitung. Ada jutaan tenaga kerja di balik industri
ini.
Sebagai orang yang
mendukung Indonesia lebih sehat, saya mendukung untuk membatasi peredaran
rokok. Salah satu caranya dengan menaikkan harganya. Dengan demikian orang yang
mau membelinya harus berpikir berkali-kali, membandingkannya dengan prioritas
lain. Bila harga rokok menjadi mahal (atau sangat mahal), orang akan mengurangi
membeli rokok. Tujuannya mulia, namun pelaksanaannya belum tentu semudah itu.
Bagi orang yang sudah
kecanduan rokok, mengurangi apalagi menghentikan kebiasaan merokok bukanlah hal
yang mudah. Namanya juga kecanduan, artinya ketergantungan. Kalau tidak
melakukan, rasanya ada yang kurang. Kabarnya mulut akan terasa asam dan tidak
nyaman. Ada juga yang menjadi uring-uringan dan kemudian menyebalkan bagi orang
lain.
Saya tumbuh di
lingkungan yang cukup permisif pada rokok. Beberapa keluarga saya adalah
perokok. Saya pun pernah mencoba merokok. Saya tidak menjadi perokok karena
saya tidak menyukai rasa dan juga asapnya. Saya juga tidak terlalu peduli pada
gengsi. Ada yang bilang orang yang merokok itu lebih bergengsi, lebih gaya.
Saya makin menjauhi rokok setelah mengetahui akibatnya bagi kesehatan dan
keuangan. Saya tidak mau membuang uang saya untuk sesuatu yang tidak ada
gunanya. Agak pelit gitu maksudnya.
Kampanye foto seram di
rokok dan peringatan “rokok membunuhmu” ternyata tidak terlalu ampuh untuk
mengurangi perokok di Indonesia. Kampanye yang dilakukan beberapa tahun
belakangan ini tidak membuat orang takut untuk merokok. Para perokok tetap
merokok. Bagi yang tidak suka gambarnya, ada yang memindahkan rokoknya ke
tempat lain. Namun kebiasaan itu tidak hilang apalagi berkurang.
Menaikkan harga rokok
dapat dipahami sebagai salah satu cara “memaksa” masyarakat untuk tidak
merokok. Penjualan rokok diduga akan berkurang banyak, yang kemungkinan juga
akan mengurangi pembelian tembakau ke petani. Petani tembakau harus mencari
cara lain untuk mencari nafkah. Tembakau tidak dapat diandalkan lagi sebagai
sumber penghasilan. Hal ini juga seharusnya menjadi perhatian pemerintah.
Pemerintah, pihak yang membuat kebijakan, seharusnya tidak boleh lepas tangan
atas akibatnya. Semoga saja ada orang-orang di pemerintahan yang mau memikirkan
solusinya. {ST}
Baca juga: