Putu
bambu adalah salah satu makanan kesukaan saya. Saya sangat senang ketika
mendapati keponakan-keponakan saya ternyata juga suka makan kue putu. Kami
sangat bersemangat ketika terdengar suara khas putu bambu. Uuuu…. Begitu
bunyinya.
Putu
bambu yang berjualan di kompleks rumah tempat tinggal keponakan saya itu dijual
oleh seorang bapak dengan menggunakan sepeda. Bapak yang ramah itu sepertinya
sudah mengenal dengan baik keponakan-keponakan saya. Ia juga mengizinkan keponakan-keponakan
saya “bermain” dengan dagangannya. Kami kemudian “membajak” penjual putu ini.
Membuat
putu bambu memang mengasyikkan. Waktu kecil saya sering memainkannya dengan
bahan-bahan “bohongan”. Bahan untuk putu bambu menggunakan pasir yang memang
banyak di tempat tinggal saya waktu kecil di Palangkaraya. Bambunya menggunakan bambu sungguhan. Gulanya
dengan tanah. Permainan yang kalau dipikir-pikir sekarang ini agak jorok, namun
berkesan dan menyenangkan.
Daya
tarik pembuatan putu juga menarik keponakan saya yang berusia 6 tahun. Awalnya
dia hanya melihat dengan wajah tertarik, kemudian tangannya mulai memegang
bambu-bambu yang digunakan sebagai alat masak putu. Saya awalnya melarangnya
dan menjauhkan tangan kecilnya dari bahan pembuat putu. Namun, bapak penjual
putu malah memberikan sebuah bambu dan setumpuk bahan putu.
Keponakan saya itu segera bereksperimen. Dia
memasukkan bahan-bahan putu. Mula-mula tepungnya, kemudian gulanya. Ia
membuatnya beberapa kue putu. Ada beberapa kue yang gulanya berlapis-lapis.
Kue-kue putu ini kemudian dimasak dalam bambu bersama dengan kue-kue putu
lainnya.
Setelah dibuka, kue putu buatan keponakan saya itu
bentuknya tidak sekeren buatan bapak pembuat putu. Ada beberapa yang bentuknya
nyaris hancur. Ada beberapa yang gulanya meleleh keluar. Ada juga yang terlihat
lapisan-lapisannya. Intinya, kue ini tidak layak jual, deh. Sampai-sampai bapak
penjual putu pun memutuskan untuk tidak menjualnya. Ia tidak menghitung kue-kue
berbentuk tak karuan itu dalam harganya. Saya yang berkeras untuk mengganti
harga bahan yang telah digunakan oleh keponakan saya yang bermain putu-putuan
itu, tentunya beserta dengan ucapan terima kasih yang tulus.
Kue putu buatan keponakan saya itu cukup enak, kok.
Bentuknya saja yang tidak karuan. Saya dan keponakan saya senang sekali karena
makan kue putu buatan sendiri. Kami sama-sama mendoakan semoga bapak penjual
putu itu tetap setia menjadi penjual putu dan menjajakan makanan favorit kami
itu. {ST}