Di dekat tempat saya tinggal, ada
kompleks ruko yang hampir selalu ramai dikunjungi orang. Di ruko itu ada bank
besar yang selalu antri beserta ATM-nya, apotek, optik, minimarket, kopitiam
dan juga tempat fotokopi. Itu masih belum ditambah dengan kemeriahan pinggir
jalan. Di pinggir-pinggir jalan situ ada bakso yang sangat terkenal dan sop
kambing yang juga tidak kalah terkenalnya. Semuanya itu membuat banyak orang
datang ke tempat itu. Kendaraan para pengunjung membuat daerah itu bertambah
padat.
Hal
lain yang membuat saya malas membawa kendaraan ke tempat ini adalah juru parkirnya.
Juru parkirnya kebanyakan adalah juru parkir liar yang tidak berseragam biru
juru parkir. Mereka mengatur parkir seenaknya. Tidak hanya soal kita parkir di
mana dan berapa lama, tapi jug atarif parkirnya. Mereka tidak segan-segan untuk
meminta uang parkir lebih besar dari yang biasa diminta oleh tukang parkir
resmi.
Suatu
kali, saya pernah ribut dengan seorang tukang parkir liar di kompleks ruko itu.
Orang itu, yang merasa saya memarkir mobil saya terlalu lama, memarahi saya.
Dia juga berkata, “Kalau lama, jangan parkir di sini!”
Saya
sangat terganggu mendengar itu. Dia mengatakannya seakan-akan dialah orang yang
berhak akan tempat itu. Yang membuat saya agak terganggu karena itu bukanlah
yang pertama kalinya dia mengeluarkan komentar yang tidak mengenakkan tentang
parkir. Makin terganggu lagi karena kejadian itu terjadi di pelataran parkir
sebuah bank besar yang terkenal. Di bank ini ada staf keamanannya. Saat itu,
saya sedang menggunakan jasa ATM dari bank tersebut.
Karena
merasa terganggu, saya pun memarahi si abang tukang parkir liar yang sebelumnya
pernah mencoba memalak saya itu. Si abang tukang parkir liar itu tetap kekeuh
dengan pendapatnya kalau sayalah yang salah karena parkir terlalu lama di area
kekuasaannya.
Saya
juga menyampaikan keberatan saya kepada petugas keamanan di bank besar di mana
saya sudah menjadi nasabahnya selama bertahun-tahun itu. Keberatan saya tidak
terlalu ditanggapi oleh petugas kemaanan. Mereka bahkan merasa keberatan karena
saya mengatakan kalau mereka “membiarkan petugas parkir liar mengganggu
nasabahnya”. Menurut mereka, hanya saya satu-satunya orang yang pernah
menyampaikan keberatan karena adanya tukang parkir liar itu.
Saat
itu, saya berjanji bahwa saya akan memberikan surat keberatan resmi atas adanya
parkir liar itu. Saya bahkan memotret abang juru parkir liar itu sebagai bukti
untuk dilaporkan. Namun, dengan berjalannya waktu, saya menganggap tidaklah
terlalu penting untuk membuat surat keberatan dengan segera.
“Jangan
ditujukan ke sini,” kata bapak petugas keamanan yang menerima saya di bank
besar itu, “tugas kami hanya menjaga sampai ke situ,” lanjutnya lagi. Kedua
bapak petugas kemanan itu menunjuk pelataran parkir yang hanya cukup untuk 2
mobil.
“Kalau
di pinggir jalan, bukan urusan kami,” demikian perkataan mereka yang sangat
saya ingat. Perkataan yang melemparkan tanggung jawab penertiban parkir liar
itu kepada pihak lain, entah siapa, yang penting bukan mereka.
Walaupun
begitu, saya akan tetap mengirimkan surat kepada bank besar itu. Masa, sih,
bank sebesar itu tidak bisa memberikan pelayanan yang baik kepada nasabahnya
hanya karena petugas parkir liar yang galak dan gemar memalak? Mereka pasti
bisa melakukan sesuatu yang lebih ketimbang hanya melemparkan tanggung jawab
ketika ada nasabahnya yang merasa terganggu. {ST}