Ada yang berbeda di Pantai Indrayanti. Di pantai ini, ada penjual peyek rumput laut. Peyek ini sudah
dibungkus dalam kantong plastik kecil dan dijajakan berkeliling. Ibu-ibu
penjual peyek ini membawanya dalam kotak asongan berbarengan dengan dagangan
lainnya, makanan ringan juga. Ada kerupuk, keripik dan peyek jenis lainnya.
Peyek ini berwarna hijau. Berasal
dari rumput laut yang asli dari laut sekitar situ. Peyek ini mungkin juga cocok
disebut keripik, karena bahan rumput lautnya lebih banyak dari tepungnya.
Peyek-peyek lain yang saya kenal, bahan tepungnya lebih banyak dari bahan yang
menjadi identitasnya. Misalnya peyek kacang tanah atau kacang hijau.
Kacang-kacang itu ada di antara tepung yang mengeras karena digoreng.
Peyek rumput laut ini menarik
perhatian saya. Selain karena saya memang penggemar rumput laut, saya juga baru
kali ini menemukan rumput laut yang bisa diolah menjadi makanan seperti itu.
Saya pun membeli beberapa bungkus peyek dari seorang ibu pedagang.
Sebenarnya, saya hanya berniat
membeli 1 bungkus untuk saya nikmati sendiri. Saya berubah pikiran ketika ibu
penjaja peyek itu menyebutkan harganya. Harga per bungkusnya hanya Rp. 2000.
Tanpa menawar lebih lanjut, saya langsung membeli 5 bungkus. Saat itu, saya
tahu, kalaupun saya menawar lebih murah, Rp. 10.000 untuk 6 bungkus misalnya,
ibu penjual pasti akan memberikan. Namun saya mengurungkan niat itu. Rp. 2000
sudah cukup murah. Itu adalah uang untuk pengganti bahan, tenaga dan waktu
untuk ibu penjaja itu. Rasanya, kok, kelewatan kalau harus menawar harga lagi.
Peyek rumput laut ini rasanya agak
hambar, sedikit gurih. Awalnya, saya menebak rasanya akan seperti nori. Tebakan
ini agak sedikit meleset. Rasanya garing, keriuk-keriuk seperti kerupuk. Lima
bungkus peyek yang saya beli itu akhirnya menjadi oleh-oleh yang saya bawa
pulang ke Jakarta. {ST}