“Kasihan mereka, pekerjaannya hanya
petani,” demikian penjelasan seorang teman saya. Dia mengasihani penduduk di
sebuah desa yang menurutnya pantas mendapat bantuan diakonia.
Kala itu, saya diam saja. Namun,
dalam pikiran saya muncul pemberontakan. Apa salahnya menjadi petani? Mengapa
mereka harus dikasihani? Mengapa harus ada kata “hanya” ketika menyebutkan
pekerjaan mereka? Apakah pekerjaan sebagai petani tidak cukup berharga?
Bila dibandingkan dengan pekerja
kantoran, petani memang telihat nggak lebih keren. Pakain mereka umumnya kumuh,
apalagi kalau terkena lumpur. Keringat yang belum tentu wangi juga adalah teman
akrab mereka. Berbeda dengan pekerja kantoran yang umumnya rapi jali dan wangi
(khususnya waktu pagi).
Kalau dipikir-pikir, para pekerja
yang berpakaian rapi dan wangi itu tidak otomatis menjadi lebih terhormat.
Kebanyakan pekerja memiliki atasan. Mereka bukanlah bos diri mereka sendiri.
Namun kebanyakan petani adalah bos diri mereka sendiri. Kumuh-kumuh begitu,
mereka adalah bos.
Untuk pendapatan, para petani pun
belum tentu lebih rendah dibandingkan dengan pekerja kantoran. Dalam sekali
panen yang sukses, penghasilan seorang petani mungkin akan berkali-kali lipat
lebih besar bila dibandingkan dengan pekerja kantoran kelas menengah. Bila
merek abisa mengelolanya dengan baik, maka penghasilan itu cukup untuk hidup
selama setahun bahkan lebih.
Satu hal lagi yang membuat saya
menghormati para petani. Petani adalah orang yang menghasilkan makanan,
kebutuhan pokok manusia. Sudah selayaknya mereka dihargai. Nah, tentang
perhargaannya ini, bukanlah dengan memberikan bantuan berupa uang. Mereka itu
adalah pengusaha, bukan pengemis. Kalau memang mau membantu, berilah peluang
lebih besar bagi usaha mereka. Dukung mereka untuk terus bertani dan bantulah
untuk memasarkan hasil pertaniannya dengan harga yang layak.
Bulan Januari 2014 yang lalu, saya
berkunjung ke Tanah Karo. Tanah subur di sekitar gunung ini dihuni oleh mayoritas
petani. Saat ini, cukup banyak petani yang terpaksa harus mengungsi karena
Gunung Sinabung yang terus-terusan erupsi.
Saat Gunung Sinabung tidak erupsi,
lahan sekitar situ sangat subur. Dari sebidang tanah, mereka dapat menghasilkan
sangat banyak. Cukup banyak petani yang kemudian membeli mobil, memperbaiki
rumah dan mengirimkan anaknya untuk sekolah di sekolah terbaik dari hasil
bertani ini. Mobil yang dibeli pun tidak hanya melulu berupa truk untuk
kebutuhan pertanian. Sesekali di Kabanjahe dan sekitarnya juga terlihat
beberapa mobil mewah. Mobil-mobil ini adalah mobil para petani yang cukup
sukses panennnya.
Kalau cerita tentang petani, memang
tidak ada habisnya. Mungkin akan saya sambung lain kali di catatan yang lain.
Yang jelas, saya tidak akan merendahkan petani hanya karena pekerjaannya
sebagai petani. Petani tidaklah “hanya”. Petani adalah pekerjaan yang keren,
jauh lebih keren daripada jual diri. {ST}