Di
bulan Mei ini, berita nasional dihebohkan dengan kedatangan ribuan pengungsi
Rohingya. Mereka datang dari Myanmar dengan menggunakan kapal. Mereka pergi
dari pemukiman sebelumnya untuk menghindari pembantaian.
Para
pengungsi itu mengundang banyak perdebatan di negeri ini, bahkan di dunia. Ada
yang tidak peduli. Banyak juga yang memberi perhatian. Ada yang memberi bantuan
nyata. Ada juga yang hanya memberikan simpati dan kata-kata, seperti saya ini.
Untuk golongan terakhir ini, entahlah ada gunanya atau tidak.
TNI dan Kedaulatan Negara
Sikap
Panglima TNI yang pernah menolak mereka masuk ke perairan Indonesia mendapat
kecaman banyak orang. Sikapnya itu dianggap tidak manusiawi oleh beberapa
orang. Kalau diukur dari sisi kemanusiaan, memang bisa dikatakan demikian.
Namun kalau dari sisi prajurit TNI yang tugas utamanya menjaga kedaulatan
negara, sikap yang diambil Panglima TNI itu sangat bisa dimaklumi. Bayangkan
saja, ribuan orang asing yang sebagian besar berusia produktif (baca: bisa
berperang), datang berduyun-duyun tanpa izin ke negara kita.
TNI
juga tidak bisa dikatakan tidak berperikemanusiaan. Mereka memberikan
pertolongan kepada para pengungsi yang ada di kapal. Air minum dan makanan
diantarkan untuk menyambung hidup mereka.
Mendarat di Aceh
Sebagian
para pengungsi itu akhirnya mendarat di Aceh. Mereka ditampung sementara di
tempat-tempat pengungsian. Bantuan kemanusiaan mulai berdatangan. Mereka yang
terbuang dari tanah kelahirannya itu kembali menjejak ke tanah di ujung barat
RI. Pemerintah daerah di sana pun menyambut dengan baik para pengungsi itu.
Memberikan Pulau?
Ada
pendapat yang mengusulkan supaya pemerintah memberikan sebuah pulau di negara
kita untuk mereka diami. Toh, pulau yang dimiliki oleh Republik Indonesia ada
17.000 lebih. Memberikan 1 atau 2 pulau tidak akan mengurangi banyak. Saya
menilai baik usulan ini. Namun yang dimaksud memberikan adalah memberi izin
untuk tempat tinggal, bukan memberikan pulaunya sebagai daerah baru yang
memiliki kedaulatan sendiri. Lebih baik kalau mereka sekalian menjadi WNI.
Dengan demikian mereka akan mencintai negara kita seperti negaranya sendiri.
Teorinya, sih, begitu, ya.
Aung San Suu Kyi yang Diam Saja
Sebagian
besar pengungsi Rohingya ini berasal dari Myanmar. Negara ini adalah negara
asal Aung San Suu Kyi, pejuang demokrasi yang memenangkan hadiah Nobel
perdamaian. Sang pejuang demokrasi ini kabarnya hanya diam saja melihat
penderitaan Orang Rohingya. Sikap diamnya itu mengundang banyak kritik.
Ternyata
ada alasan di balik sikap diamnya ini. Aung San Suu Kyi melihat adanya
kekerasan yang dilakukan oleh kedua pihak yang bertikai. Sikap diam adalah
sikap yang dipilih sebagai jalan paling damai. Aung San Suu Kyi merasa bila dia
berdiri di salah satu pihak, maka akan terjadi pertumpahan darah yang lebih
banyak.
Anak Rohingya
Dari
pengungsi yang datang, ada beberapa anak-anak yang dibawa orang tuanya.
Anak-anak ini tidak mendapatkan gizi yang cukup. Mereka juga tidak bisa
mendapatkan kehidupan yang bersih. Tentu saja, mereka tidak bisa belajar di
sekolah.
Anak-anak
ini menjadi perhatian bagi beberapa kalangan. Ada wanana untuk menyekolahkan
anak-anak ini. Ada wacana untuk sekolah di tempat pengungsian, ada juga wacana
untuk memasukkan mereka ke sekoalh di dekat lokasi pengungsian. Anak-anak itu
memang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.
Kutu Rambut
Pengungsi
Rohingya yang selama berbulan-bulan terkatung-katung di kapal menghadapi
kesulitan air bersih. Air bersih untuk minum saja susah, apalagi untuk mandi.
Wajar saja kalau mereka jarang mandi. Kalaupun mandi, mungkin tidak keramas.
Tak heran penampilan mereka sangat kucel, kusam dan kusut.
Beberapa
relawan memberikan pelayanan berupa keramas gratis. Pelayanan ini memang
diperlukan bagi para pengungsi itu. Selain keramas, ada juga jasa membersihkan
kutu rambut. Seorang relawan ada yang mengatakan kalau kutu rambut yang dia
temukan pada orang-orang Rohiingya ini adalah kutu rambut terbesar yang pernah
dilihatnya.
Masalah Kompleks
Masalah
pengungsi Rohingya ini lebih kompleks daripada kutu rambut. Masalah ini berkaitan
dengan pemerintah, rakyat Indonesia yang belum sejahtera, dan juga
negara-negara tetangga yang terkait dengan migrasi ini. Sebagai WNI yang hampir
seumur hidup di negeri ini, sebenarnya saya agak kurang yakin kalau pemerintah
kita berhasil menyelesaikan masalah ini. Semoga saja saya salah, ya. Semoga
saja masalah pengungsi Rohingya ini dapat terselesaikan tanpa mengabaikan sisi
kemanusiaan. {ST}