Ketika pergi ke kantor di pagi hari, saya sering melewati
daerah perbatasan antara Jatibaru dan Tanah Abang. Perjalanan saya, syukurnya,
tidak melewati Pasar Tanah Abang yang selalu ramai dan bikin macet. Saya sudah
berbelok ke kanan, ke arah barat sebelum mencapai pasar garmen besar itu.
Pada belokan di bawah jalan layang itu, ada lampu
pengatur lalu lintas. Di dekat lampu ini, setiap pagi selalua da seorang bapak
tua yang kakinya buntung. Dia mengenakan tongkat dan tampaknya sengaja
menggulung celananya supaya semua orang yang melihat bisa segera tahu kalau
kakinya buntung.
Dulu, saya pernah merasa iba pada bapak ini. Di usianya yang
sudah tua, masih harus berdiri di pinggir jalan untuk meminta belas kasihan.
Apalagi, saat saya melihatnya pertama kali, wajahnya memang terlihat sangat
merana.
Setelah berkali-kali melewati jalan yang sama, saya pun
berkali-kali juga melihat bapak tua ini. Terasa ada yang aneh pada penampakan
bapak ini. Dia selalu berpenampilan rapi dan berganti baju setiap hari. Agak
berbeda dengan peminta-minta lainnya yang pakaiannya itu-itu saja. Mungkin
karena tempat mangkalnya dekat dengan pusat garmen terbesar di tanah air.
Entahlah. Bapak ini juga terlihat merokok dengan nikmatnya.
Sesekali, saya juga melihat ada beberapa orang memberikan
uang kepada bapak tua ini. Uang yang diberikan tidak selalu recehan, kadang ada
juga yang memberikan lembaran biru lima puluh ribuan. Uang yang lebih dari
cukup untuk membeli makanan.
Saya sendiri, sangat jarang memberikan uang pada
pengemis. Saya memang agak kesulitan untuk menghargai peminta-minta. Lain
halnya dengan pengamen atau pedagang kecil, mereka berusaha, dan saya selalu
menghargai mereka. Itu pula sebabnya saya tidak pernah memberi kepada bapak tua
yang gemar merokok itu.
Sampai sekarang, saya hanya setia menjadi pengamat bapak
tua ini, belum berbuat apa-apa untuk membantunya. Hal yang sebenarnya tidak ada
gunanya. Dan, entah mengapa saya sampai menuliskan hal ini. Apakah ada yang bisa membuat keadaan menjadi lebih baik? {ST}