“Duh,
Mbak mau pulang kampung, nih,” keluh beberapa orang kenalan saya.
Keluhan itu adalah keluhan ribuan
penghuni Jakarta ketika mendekati Lebaran. Yang dimaksud dengan “Mbak” itu
adalah asisten rumah tangga yang dapat dikatakan pula sebagai pembantu. Sebutan
“Mbak” sebagai kata sapaan, sekarang sudah bergeser menjadi kata benda.
Pergeseran kata “Mbak” tidak hanya
itu. Dulu, kata “Mbak” dalam bahasa Jawa hanya digunakan untuk memanggil kakak
perempuan atau seorang perempuan yang dituakan. Sekarang, semua pembantu
perempuan, berapapun usianya, akan mendapat kata panggilan “Mbak”.
Saya kadang-kadang agak risih dengan
pergeseran makna ini. Saya juga orang yang dipanggil “Mbak” oleh adik-adik
saya. Itu karena pengaruh nenek saya yang berasal dari Jogja. Keluarga kami,
keluarga Dayak itu, memanggil kakak-kakaknya dengan sebutan Mbak dan Mas.
Suatu kali, pernah ada orang yang
bercanda. Dia memanggil saya “Mbak Ana”, kemudian pura-puranya menyuruh saya
menyapu dan mengepel. Saya hanya diam saja sambil mengangkat alis. Buat saya,
sebutan “Mbak” bukan buat becandaan kaya gitu. Saya dibesarkan untuk
menghormati orang yang dipanggil dengan sebutan “Mbak”, bukannya malah
menyuruh-nyuruh.
Saya juga agak-agak gimana, yah,
rasanya kalau ada orang yang bilang, “Enggak pake babysitter, kok. Pake mbak,
aja.” Sebenarnya saya paham, sih, maksudnya. Dia memilih mempekerjakan seorang
perempuan yang belum mendapatkan pendidikan babysitter.
Memanggil pembantu dengan sebutan
mbak sebenarnya juga menunjukkan (sedikit) penghormatan kepada orang dipanggil.
Saya pernah mendengar orang tua yang memang mengajarkan anak-anaknya untuk
memanggil pembantunya dengan sebutan “Mbak ….”, tidak hanya namanya saja. {ST}