Adik saya lebih dulu menikah dari
saya. Saya merestuinya dengan tulus ikhlas sepenuh hati. Saya turut berbahagia
dan bersyukur atas momen spesial di hidupnya itu. Saya juga turut membantu
persiapan pernikahan dan juga pelaksanaannya.
Salah satu budaya yang ada di
Indonesia adalah memberikan pelangkah kepada kakak yang belum menikah. Budaya
ini tampaknya ada di hampir setiap daerah di Indonesia ini sehingga dianggap
sebagai sesuatu yang wajib dilakukan. Itu pula yang dilakukan di keluarga kami.
Walaupun sudah dianggap sebagai
budaya yang wajar, ternyata tidak ada ketentuan yang jelas tentang pelangkah
ini. Barang yang dijadikan sebagai pelangkah umumnya terserah pada kakaknya.
Dari beberapa cerita yang saya dengar ada kakak yang meminta barang berharga
mahal kepada adiknya yang akan menikah. Ada juga yang hanya sekedarnya sebagai
formalitas saja.
Saya sebenarnya tidak terlalu
memusingkan hal ini. Tidak ada barang yang diberikan sebagai simbol pelangkah
pun tidak apa–apa.
Atau barang yang tidak terlalu bernilai juga oke, kok. Namun, kenyataannya
tidak semudah itu. Kata “terserah” memang kadang membuat bingung. Akhirnya adik
saya meminta kakaknya ini untuk menemaninya pergi ke mall dan membeli sendiri
apa yang akan menjadi pelangkahnya.
Awalnya saya mau membeli sepatu.
Saat itu saya memang memerlukan sepatu baru karena sepatu lama saya sudah
terlihat kerusakannya. Kerusakannya itu tepatnya nyaris jebol. Sepatu untuk
kaki ukuran saya biasanya cukup mudah didapat. Ukuran kaki saya termasuk
standard dan biasanya memang selalu ada di antara stok toko.
Alasan
lainnya karena adik saya yang akan menikah ini sangat suka sepatu. Sepatu yang
dijadikan pelangkah seakan sebagai penghubung di antara kegemarannya dan
“kewajibannya” kepada kakak yang dilangkahinya.
Seperti
sudah saya tuliskan sebelumnya, kenyataannya tidak semudah itu. Pencarian
sepatu yang pas tidak mudah. Itu masih ditambah saya yang galau, mau membeli
sepatu pantofel menggantikan sepatu saya yang nyaris jebol, atau sepatu pesta
untuk menghadiri pernikahan adik saya. Akhirnya saya memilih sepatu yang saya
anggap tepat untuk kedua acara itu. Saya bersorak senang saat menemukan ukuran
yang tepat. Namun saya mendadak diam saat melihat harganya. Harganya mahal
sekali, berkali lipat dibandingkan budget yang disediakan adik saya. Kasihan
juga kalau dia harus mengeluarkan biaya sebesar itu. Saya jadi tidak tega.
Walaupun mungkin saja dia tetap akan mengeluarkan dananya kalau saya meminta.
Setelah
mencari selama beberapa jam, akhirnya saya menemukan apa yang saya inginkan,
yaitu sebuah dompet. Dompet itu menarik perhatian saya saat adik adik saya
sedang melihat lihat tas. Saya memang mencari sebuah dompet baru menggantikan
dompet saya yang retsletingnya rusak. Adik saya kemudian membelikan dompet itu
untuk saya. Kami pun pulang dengan lega sambil membawa barang yang akan menjadi
pelangkah itu.
Beberapa
hari kemudian, ketika saatnya makin dekat, ada beberapa komentar tentang
pelangkah itu. Ada yang mengatakan bahwa segitu sebenarnya kurang. Ada yang
mengatakan harusnya memberi pakaian. Macam–macam,
deh. Hampir semuanya kami abaikan he he he... Yang jelas, dengan atau tanpa
pelangkah, saya tetap merestui pernikahan adik saya. Saya mendoakan semoga dia
dan pasangannya dapat membentuk keluarga bahagia yang menjadi berkat bagi
dunia. {ST}