Dalam renungan reflektif yang dibawakan oleh Mayjen TNI (Purn) Darpito
Pudyastungkoro di perayaan HUT RI di GKI Kwitang, beliau menceritakan
pengalamannya ketika bertemu seorang anak kecil. Anak kecil berpakaian kumuh
itu berjualan koran secara asongan. Pak Darpito yang iba hatinya memberikan
selembar uang kepada anak ini. Tak diduga, uang itu ditolak oleh si anak. Dia
mengembalikan uang tersebut seraya mengatakan kalau dia adalah penjual koran,
bukan pengemis.
Saat itu,
saya langsung teringat pada pengalaman saya sendiri. Beberapa tahun yang lalu,
saya juga pernah “ditolak” oleh seorang penjual koran. Penolakan ini justru
membuat saya makin menghargai penjual koran itu. Penjual itu punya harga diri
dan tidak bermental pengemis. Orang-orang seperti inilah yang layak disebut
pejuang yang sebenarnya.
Bagi jemaat
dan simpatisan GKI Kwitang, mungkin banyak yang mengenal (atau pernah melihat
tapi tidak mengenal) penjual koran yang saya maksud. Bapak penjual koran ini
memang beredar di seputar Kwitang. Kursi roda yang ada atapnya adalah kios
jualan sekaligus kendaraannya.
Suatu kali,
ketika saya baru turun dari halte Tranjakarta di daerah Kwitang, saya bertemu dengan
bapak penjual koran ini yang sedang mangkal tak jauh dari halte. Saya membuka
tas untuk mengecek telepon genggam saya. Saat itu, saya juga melihat beberapa
lembar uang dua ribuan di tas saya. Saya mengambil lembaran uang itu dan
memberikan uang saya kepada bapak di kursi roda itu.
“Maaf, saya
jualan koran, bukan pengemis,” demikian kata bapak itu sambil melihat wajah
saya dengan agak jutek.
“Oh, kalo
gitu, saya beli koran,” lanjut saya lagi.
Transaksi
berlangsung dengan cepat. Kali ini wajah bapak penjual koran tidak sejutek
sebelumnya, terutama ketika mengucapkan terima kasih. Saya pun melangkah pergi
dengan membawa 1 edisi koran harian yang juga menjadi langganan keluarga kami.
Pejuang Itu Telah Pergi
Saya
menganggap bapak ini pejuang bukan hanya karena kostum yang sering
digunakannya. Bapak ini memang sering menggunakan kostus ala tentara. Jaket
loreng dan atribut tentara sering terlihat di badannya. Kadang saya berpikir
apakah dia veteran yang terlantar. Ditambah pula dengan kakinya yang tidak utuh
seperti manusia normal. Kursi rodanya menjadi penanda paling jelas untuk
keterbatasan kakinya ini. Mengingatkan pada keadaan para veteran Amerika
setelah perang Vietnam.
Sebenarnya, saya tidak tahu nama
bapak ini. Namun setelah kejadian penolakan itu, kami jadi lebih sering
bertegur sapa. Baru-baru ini, seorang abang ojek yang mangkal di Kwitang
mengabarkan pada saya kalau bapak ini telah pergi meninggalkan kita. Beliau
langsung dimakamkan tak lama ketika meninggal. Perjuangan sang pejuang itu
telah selesai. {ST}