26 Desember 2012, sehari sebelum hari terakhir saya di
Palangkaraya, kami mendapatkan berita duka dari Jakarta. Seorang sepupu saya,
yang sedang berobat ke Jakarta, ternyata pengobatannya tidak berhasil. Dia
meninggal.
Saya ikut sedih dan menyesal atas kejadian ini. Sedih
karena dia adalah sepupu saya yang telah saya kenal dari kecil. Menyesal karena
selama pengobatannya di Jakarta, kota tempat tinggal saya, saya belum
mendukungnya. Pada saat dia datang ke Jakarta, bertepatan dengan keberangkatan
saya ke Palangkaraya.
Pagi hari Kamis tanggal 27 Desember 2012, saya
bela-belain untuk dapat berkunjung ke rumah duka. Jarak bandara yang dekat
membuat saya cukup tenang untuk pergi berkunjung dulu. Jadwal penerbangan di
tiket saya tertera pukul 10.00 WIB. Tentunya masih cukup waktu untuk berkunjung
sebentar menyatakan duka cita yang mendalam.
Saya diantar oleh supir bapak saya yang sebelumnya sudah
pernah ke situ. Dengan alasan jaraknya dekat, maka saya berbuat cukup nekat,
baru jam 9 pagi menuju rumah duka. Ternyata, jarak dekat belum tentu bisa
sampai cepat. Alasannya bukanlah macet seperti di Jakarta, tetapi keadaan
jalannya.
Ternyata, di kota ini masih ada jalanan yang belum
diaspal. Jalan setapak yang hanya cukup untuk 1 mobil itu tergenang air di
setiap cekungannya. Dalamnya lobang cekungan tidak dapat diduga karena air yang
keruh. Mobil sedan tua yang kami gunakan harus berjuang mati-matian menembus
jalanan ini.
Ketika rumah duka sudah berjarak tak jauh lagi, kami
terhalang oleh gundukan pasir putih. Pasir putih ini menggunung tepat di tengah
jalan. Tampaknya, orang yang meletakkan pasir ini bermaksud baik, ingin
menguruk jalanan becek ini supaya lebih
mudah dilalui. Namun, di saat saya harus buru-buru ke rumah duka, gundukan
pasir di tengah jalan bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Karena waktu berjalan terus dan makin dekat dengan jadwal
terbang saya, maka saya memutuskan untuk berjalan kaki menembus gerimis. Saya
melangkah pasti dengan satu-satunya pasangan sepatu yang saya bawa. Ternyata,
langkah pasti saya itu membuat saya tak berhati-hati. Kaki saya terjeblos ke
dalam pasir dan cukup susah untuk diangkat kembali.
Terjeblos ke pasir tak cukup untuk membuat saya menyerah.
Saya segera mengeluarkan kaki saya dari pasir, menenteng sepatu, menggulung
celana dan melanjutkan perjalanan. Akhirnya saya tiba dengan selamat di rumah
sepupu saya. Saya bertemu dengan istri sepupu saya, yang sepupu saya juga.
(Bingung, kan?) Saya juga bertemu dengan keponakan-keponakan saya yang masih
kecil-kecil. Semoga mereka semua diberikan berkat, kekuatan dan penghiburan
untuk menjalani hidup tanpa seorang ayah. {ST}