Pada akhir minggu di
pertengahan bulan November 2015 ini kota Paris mendadak lebih tenar dari
biasanya. Kali ini Paris bukan terkenal karena fashion show-nya, tetapi karena tragedi kemanusiaan yang terjadi di
sana. Tragedi apa? Hmmm…. Cari di media lain aja yah beritanya. Saya enggak mau
menuliskannya di sini.
Sudah sejak lama saya
ingin mengunjungi Paris, dan belum kesampaian sampai sekarang. Niat mengunjungi
Paris itu sangat besar ketika saya kuliah, terutama ketika saya berhasil lulus
dalam mata kuliah struktur baja. Setelah mengulang 2 kali, akhirnya saya bisa
lulus dengan nilai A. Itu adalah suatu prestasi yang luar biasa. Kabarnya,
dosen kami yang berwajah dingin seperti baja itu hampir tidak pernah memberikan
nilai A. Sejak saat itulah saya bercita-cita mengunjungi struktur baja paling
terkenal di dunia Menara Eiffel, di Paris. O iya, saya juga tahu alasan ini
tidak romantis. Supaya sedikit romantis, saya juga ingin ke Paris bersama pasangan.
Yeah, semoga saja dia enggak kecewa karena tujuan saya sebenarnya ingin melihat
struktur baja yang pernah menjadi bangunan tertinggi di dunia itu.
Seiring dengan
berjalannya waktu, keinginan ke Paris agak menghilang dari prioritas. Masih banyak
impian lainnya yang bisa saya raih dengan kondisi yang ada sekarang. Saya juga
agak disibukkan dengan pekerjaan dan beberapa pelayanan di gereja. Kalaupun
memikirkan traveling, saya lebih memilih yang biayanya terjangkau dan dapat
dinikmati tanpa harus memikirkan tagihan yang membengkak. Perancis hanya saya kunjungi
dari internet saja.
Paris baru muncul kembali
akhir-akhir ini dalam pikiran saya. Itu karena pemberitaan super gencar di
berbagai media. Selain itu juga karena saya mendapat tugas menulis tentang
suatu daerah yang indah di Perancis, namanya Dordogne. Mencari informasi
tentang Perancis tidak mungkin tidak sampai ke Paris. Paris juga menjadi
perbincangan saya dengan Mamah akhir-akhir ini.
Mamah sudah pernah ke
Paris. Mamah dan Papah sudah pernah berpose di depan Menara Eiffel seperti
pasangan-pasangan serasi lainnya. Mereka mampir ke kota ini hanya sebentar.
Tujuan utama Mamah saat itu ke Lourdes.
Sebenarnya, Mamah ingin
sekali berkeliling kota. Dia memang suka melihat-lihat kehidupan di tempat yang
didatanginya. Kesukaan itu menurun ke semua anaknya. Selain melihat-lihat, kami
juga suka mencoba makanannya. Ketika berkunjung ke Paris, Mamah memang diajak
berkeliling, namun dia belum puas. Mamah tidak berani jalan-jalan sendiri
karena keterbatasan waktu, bahasa, dan uang. Mamah agak menyesali kunjungannya
ke ibu kota Perancis itu.
“Ya, entar kalo ada
rejeki kita ke Paris,” kata saya menghiburnya.
Dalam hati saya berdoa
semoga saja Mamah dan Papah masih punya kesempatan untuk menginjakkan kaki di
Paris lagi. Saat itu Paris dalam keadaan yang aman dan damai. Mereka akan
menjadi pasangan yang romantis, enggak hanya pura-pura romantis karena mau
difoto di Paris. Semoga pula saya diizinkan menjadi saluran berkat untuk
membawa mereka berdua jalan-jalan ke Paris dan tempat-tempat lain yang mereka
impikan. Amin. {ST}