Suatu hari, saya 2 kali
naik ojek dalam sehari. Ojek yang mengantarkan saya itu adalah ojek pangkalan,
alias opang. Saya memilih opang karena itu adalah pilihan termudah saat itu.
Pilihan yang sebenarnya tanpa sengaja ini membentuk persepsi baru bagi saya.
Opang pertama yang
mengantarkan saya mangkal di perempatan dekat rumah. Dia langsung menawarkan
jasa ketika meilhat saya berhenti di perempatan seberangnya. Saya pun melakukan
tawar menawar dan langsung naik ke kendaraan roda 2 itu.
Dalam perjalanan, abang opang ini beberapa kali menyampaikan pendapatnya
tentang rute yang akan kami tempuh. Dia tidak menyangka ternyata jarak yang
ditempuh itu cukup jauh. Abang opang ini mengatakan kalau ongkos yang sudah
kami sepakati tadi terlalu murah. Saya pun sedikit ngedumel mendengarnya.
Menurut saya sudah terlambat untuk membicarakan harga. Dalam hati saya juga
sadar sih kalau ongkos yang kami sepakati tadi terlalu murah. Kalau misalnya
ojek yang saya tumpangi ini menggunakan argo, sudah pasti ongkosnya lebih dari
yang saya sepakati tadi. Pada akhirnya, saya tetap memberikan tambahan ongkos
kepada abang opang ini.
Berkendara dengan ojek saya lakukan lagi tak lama setelah yang pertama.
Rutenya tidak jauh, sebenarnya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Sekali lagi
saya menggunakan opang. Sekali ini pun abangnya adalah pria setengah baya.
Bedanya, yang kali ini abangnya tidak menawarkan diri. Sayalah yang mencari
ojek, baru kemudian abang ini dipanggil. Ojek di pangkalan ini diatur menurut
giliran. Sengaja dibuat demikian supaya semua pengojek bisa menerima orderan.
Saat saya datang itu, pas hiliran bapak setengah baya itu. Namanya Pak Dudung.
Dalam perjalanan singkat itu Pak Dudung bercerita, bagaimana rezeki mereka
direbut oleh ojek berbasis aplikasi. Hmm…. Sebenarnya dia menyebutkan salah
satu ojek berbasis aplikasi dengan agak geram. Menurutnya ojek ini mengurangi
rezekinya karena merebut penumpang. Waktu yang beberapa menit itu digunakan Pak
Dudung untuk curhat kepada penumpangnya yang jarang naik ojek ini. Jarak yang
tidak terlalu jauh itu rupanya perlu waktu cukup lama untuk menempuhnya.
Alasannya tentu saja karena padatnya lalu lintas. Selain mangkal di pangkalan,
Pak Dudung juga sering mengantar penumpang di dekat pasar dan stasiun yang
tidak jauh dari tempat itu.
Dari 2 abang ojek pangkalan itu, saya melihat ada beberapa kesamaan.
Keduanya sama-sama berusia setengah baya menjelang tua. Sepertinya mereka sudah
bertahun-tahun berprofesi menjadi tukang ojek pangkalan. Mungkin mereka agak
gagap teknologi aplikasi dan menganggap aplikasi ojek adalah musuh. Ojek
aplikasi dianggap mengurangi rezeki mereka karena dianggap merebut penumpang.
Entah sampai kapan mereka bisa bertahan sebagai opang, ojek pangkalan. {ST}