Di suatu malam yang belum terlalu malam, setelah selesai rapat natal yang terakhir di tahun 2011, saya memutuskan pulang naik bus transjakarta. Halte bus yang tidak jauh letaknya dari gereja memang memudahkan kalau mau berkendara menggunakan kendaraan yang juga sering disebut busway ini. --> Padahal busway kan jalanannya yaa….
Penantian di halte Kwitang tidaklah terlalu lama, apalagi ada seorang teman yang menemani ngobrol. Kami langsung mendapatkan tempat duduk di sebuah bus berwarna biru. Bus itu nyaris kosong sehingga banyak pilihan tempat duduk.
Tidak lama setelah bus berjalan, di sekitar halte Senen, titik-titik air berjatuhan dari langit dalam bentuk gerimis. Butir-butir air itu makin lama makin besar. Di terowongan Senen sudah banyak pengendara motor yang berteduh, membuat terowongan itu terlihat makin sempit. Bus yang kami tumpangi memakan waktu cukup lama karena berjalan pelan di terowongan yang lajurnya makin sempit itu.
Setibanya di sisi seberang, hujan sudah tidak lagi layak disebut gerimis. Butiran air yang jatuh makin deras sampai jalanan pun tidak lagi terlihat jelas. Putih berkabut dan suara menderu membuat suasana terasa seperti badai. Badai makin terasa ketika tiba waktunya turun di halte dekat rumah. Bus yang berhentinya sedikit meleset dari pintu halte itu menyisakan ruang yang cukup untuk membuat kuyup bila tidak bergerak cepat.
“Ciiaaaatttttttt…..” Akhirnya saya pun sukses menyeberang ke halte Cempaka Tengah di dekat rumah itu.
Kak Ridma, teman seperjalanan saya juga ikut-ikutan turun di halte ini dan berencana untuk baik taksi pulang ke rumah. Saya, yang rumahnya tidak jauh dari halte dan kalaupun naik ojek ongkosnya gak mahal-mahal amat, memilih untuk menunggu hujan sedikit reda. Tempat yang paling pas untuk menunggu adalah di halte transjakarta itu, bukan di halte pinggir jalan. Maka saya pun kembali duduk di halte sambil memantau bintang-bintang merah di blackberry. Mas koordinator seksi acara menanyakan hasil rapat terakhir dan update acara akhir tahun.
Akhirnya hujan pun sedikit reda, dan saya beserta seorang ibu yang bernasib sama, keluar menuju halte pinggir jalan. Setiba di halte pinggir jalan, hujan menjadi deras lagi. Di halte tanpa tempat duduk itu, kami terpaksa menunggu. Angin kencang yang dingin membuat badan saya bergoyang tanpa bermaksud menari. Saya dan ibu itu yang memang tidak saling mengenal dan tidak berniat menunggu lama, akhirnya berdempetan. Ibu bertubuh cukup subur itu cukup memberi kehangatan dan kestabilan atas tiupan angin.
“Kuliah di mana dek?” ibu itu membuka perbincangan dengan perempuan yang menempel erat kedinginan di sampingnya itu.
“Hah? Kuliah? Di Trisakti, Bu….” saya menjawab si ibu sambil mendekap binder dan nempel-nempel ke ibu yang tetap berdiri kokoh walau diterpa angina kencang itu.
“Trisakti yang di Grogol ya? Kalo saya kerjanya di Sumber Waras,” si ibu membuka obrolan dengan lebih ramah. Sepertinya ibu ini mengira saya anak kuliahan. Dengan kostum kaos plus jins, bawa binder, pake backpack dan wajah imut, memang bisa dimaklumi kalau ibu ini bisa salah sangka., mengira saya anak kuliahan. Dia bahkan mengira saya dari Grogol juga. Dia tidak tahu kalau saya sudah cukup tua. Bahkan di gereja yang baru saja saya tinggalkan, saya dianggap pantas menajdi penatua. Sebutan yang ada “tua”nya.
“Nggak, saya dari Kwitang tadi,” akhirnya saya pun berkata karena makin gak ngerti ketika si ibu bercerita tentang petualangannya menuju Grogol setiap hari. Saya tidak familiar dengan aneka halte yang disebutkan si ibu. Jaman kuliah dulu, bus transjakarta belum ada. Bayangkan sajalah sendiri, jaman kapan itu.
Akhirnya perbincangan beralih ke masalah sehari-hari, tentang cuaca, belanja, negara, anak-anak bahkan pakaian dalam. Dalam perbincangan yang kadang-kadang harus berteriak itu, kami menyepakati untuk naik bajay bersama. Saya yang rumahnya lebih dekat akan diantar lebih dulu, baru kemudian si ibu.
Maka kami pun menghadang bajay yang sesekali lewat di halte. Beberapa bajay langsung berlalu karena sudah ada penumpangnya. Akhirnya ada juga bajay yang tanpa penumpang. Setelah tawar menawar yang jadinya hanya formalitas (maklum deh, kalo lagi butuh gitu, gigi taring gak bisa dikeluarin), kami menyetujui ongkos bajay yang mahal untuk ukuran biasanya. Si abang bajay meminta ongkos 3 kali harga normal, dan bersiap pergi kalau kami tidak setuju.
Dengan menumpang bajay yang ditutup maksimal itu, kami menuju bagian dalam komplek. Jalanan sudah tergenang cukup tinggi, sampai akhirnya bajay itu berhenti dan….
“Turun di sini aja deh. Gak usah bayar. Saya gak mau ke sana. Bisa mogok!” si abang menepikan bajaynya sambil berbicara pada kedua orang penumpangnya.
“Gimana sih si abang, masa mau diturunin di sini? Kan basah,” ibu itu berkata.
“Kalo gitu lewat sebelah barat aja deh, ke tempat saya dulu,” si ibu melanjutkan lagi.
“Tapi ntar kalo nganterin si neng ini tetap lewat yang banjir. Nggak deh. Turun sini aja neng.” Si abang dengan teganya bersiap membukakan pintu.
Saya yang biasanya pasti naik darah kalau diusir seenaknya itu, kali ini tumben tidak bertumbuh tanduknya, mungkin karena habis pulang rapat natal, suasana damai masih melekat.
“Oke kalau begitu saya turun di sini aja. Nanti saya naik ojek aja,” saya berkata dengan penuh kemenangan dan ketenangan.
“Dek, pake payung saya aja dek,” si ibu memberikan payung yang sedari tadi dipegangnya ke tangan saya.
“Gak usah, Bu. Bang, anterin ke pangkalan ojek, deh!” Saya berkata pada abang yang masih menolehkan badannya ke belakang itu.
“Gapapa, pake aja. Saya kan dianterin sampai depan rumah, kok,” si ibu tetap memaksakan payungnya ke dalam genggaman saya.
“Ntar gimana balikinnya, Bu? Apa saya beli aja?” Saya berkata dengan penuh perhitungan dan mulai membongkar tas mencari uang.
“Gak usah, pake aja. Ayo sana, ntar keburu hujannya tambah gede.” Kali ini si ibu pakai acara mendorong dan membuka pintu bajay.
“Terima kasih banyak, ya….Tuhan memberkati Ibu selalu.” Akhirnya saya pun setuju untuk memakai payung si ibu. Sembari keluar, saya menyempatkan memberikan uang ongkos untuk si abang bajay. Bukan ongkos untuk diturunkan di pinggir jalan sebelum sampai tujuan, tapi ongkos untuk mengantarkan ibu baik hati itu ke rumahnya. Sayangnya, gerakan memberi ongkos itu terlihat si ibu. Dia dengan sigap mengambil uangnya kembali dan memaksa mengembalikannya ke tangan saya.
Saya yang sudah di luar bajay, tidak punya waktu lagi untuk melakukan “serangan balasan”, memberikan uang ongkos itu. Hujan yang makin lebat memaksa saya harus cepat-cepat membuka paying. Si abang bajaypun langsung memutar bajaynya, meninggalkan gelombang di air yang menggenang.
Sayapun menempuh perjalanan pulang di bawah lindungan payung pemberian ibu itu. Jalanan dekat rumah sudah menggenang setinggi lutut. Trotoar yang ditanami pohon besar membuat harus turun ke badan jalan sesekali. Suara tikus mencicit membuat suasana makin mencekam. Beberapa kendaraan yang nekat lewat membuat gelombang yang tingginya sampai ke paha. Sandal jepit berhias lidi yang saya pakai sudah mulai menunjukkan kerusakannya di pertengahan jalan. Ornamen hiasannya yang sepertinya ditempel dengan lem, mulai terlepas dan membuat langkah makin berat. Sempat terpikir mau cekeran aja tapi akhirnya dibatalkan. Teringat pada ban si mocil yang berkali-kali kena paku karena suka nyempil di pinggir jalan. Ban mobil aja nembus, gimana kaki cekeran…
Akhirnya sayapun tiba di rumah dengan selamat. Selain pulang di bawah lindungan payung, saya juga di bawah lindungan Tuhan yang mengirimkan malaikatnya untuk menolong saya. Seorang malaikat berpayung. Konon kabarnya di jaman sekarang malaikat tak lagi bersayap. Mereka berwujud seperti manusia biasa, sesama kita. {ST}