Di
pasar dekat rumah kami di Palangkaraya, ada orang yang khusus berjualan kura-kura,
labi-labi, bejuku, dll sejenisnya. Saya menjulukinya sebagai juragan kura-kura.
Dia menjualnya di emperan depan rumahnya yang dijadikan sebagai tempat pajang.
Kura-kura ini ditempatkan di ember, baskom dan jaring.
Kura-kura
ini dijual sebagai bahan pangan. Yap benar! Kura-kura ini dijual untuk dimakan.
Nasibnya sama seperti ikan-ikan yang mampir ke pasar itu. Nasibnya ini membuat
saya, seorang penggemar kura-kura, menjadi sedih dan prihatin.
Ibu
saya, yang juga penggemar kura-kura, juga merasakan keprihatinan yang sama. Dia
berkali-kali membeli kura-kura yang dijual oleh sang juragan kura-kura itu. Dia
membelinya untuk dipelihara di rumah. Saat ini di rumah kami ada 11 ekor
kura-kura.
Suatu
kali, ketika saya berkunjung ke pasar itu, saya menyaksikan pembantaian
kura-kura. Kura-kura berukuran besar itu dipotong dengan pisau besar dan
dikeluarkan dari cangkangnya. Setelah itu, dagingnya dipotong menjadi
kecil-kecil. Saya sangat ngeri melihatnya.
“Ini
makanan enak!” kata sang juragan sambil tertawa ketika melihat saya memalingkan
wajah.
Pemandangan
itu agak mengganggu buat saya. Saya memotret sisa-sisa cangkang kura-kura itu
dan mengunggahnya ke Facebook dengan caption
betapa tidak berperikekura-kuraannya perbuatan itu. Tak disangka, foto ini
mengundang komentar dari beberapa teman. Ada juga komentar yang berpotensi
membuat perdebatan tidak penting. Akhirnya, foto ini saya tarik dari peredaran
karena saya tidak mau timeline saya berisi perdebatan tidak penting.
Kembali
kepada juragan kura-kura. Kabarnya dia telah menjalani bisnis ini
bertahun-tahun. Penghasilannya cukup untuk hidup dan menyekolahkan anaknya.
Saat itu saya mengangguk-angguk mendengarkan ceritanya. Dalam hati saya berdoa,
semoga dia bisa mendapatkan penghasilan dari bisnis lain, bukan berjualan
kura-kura lagi. {ST}