Seporsi sate Prei |
Hampir sebulan setelah menemukan “Sate Prei yang LagiPrei”, kami mencoba lagi untuk ke tempat itu. Karena sudah tahu lokasinya,
langsung saja kami menuju ke sana. Perjalanan tidak lagi ditempuh dengan mata
melotot mengamati pinggir jalan.
Kali ini, Sate Prei buka. Kami pun dengan girang
melangkah ke dalam ruangan warung itu. Ruangannya tidak terlalu besar, hanya
terdiri dari 4 meja. Dindingnya kusam dan terkesan tua karena asap sate yang
selalu beredar di ruangan itu.
Irisan cabe rawit sebagai pelengkap masakan |
Masakan di warung ini dimasak dengan cara tradisioan,
menggunakan tungku arang yang dikipas-kipas dengan tangan. Cara ini diyakini
oleh beberapa orang akan membuat masakan lebih enak dibandingkan dengan memasak
menggunakan bahan bakar gas atau minyak tanah.
Tungku dan pikulan tempat memasak |
Selain sate, kami juga memesan tongseng, menu masakan
dari kambing lainnya. Umumnya penjual kambing yang menjual sate, juga menjual
tongseng dan gulai. Kami memesan 1 porsi sate dan 2 porsi tongseng. Seporsi
tongsengnya dengan orderan super pedas.
Sate yang kami idam-idamkan sejak lama itu ternyata
rasanya tidak seperti yang kami bayangkan. Mungkin, karena kami sudah pernah
menyantap sate di tempat lain yang rasanya lebih enak, jadi, sate ini rasanya…biasa
saja.
Tongseng Prei |
Yang cukup berkesan adalah tongsengnya. Tongsengnya enak
sekali, rasanya pas. Kuahnya gurih manis, ditambah sedikit pedas. Makin terasa
nikmatnya ketika disantap saat hujan. Hawa dingin terkalahkan oleh hangatnya
tongseng prei. Kami tetap menamai tempat makan ini “Prei” walaupun nama
resminya bukan itu. {ST}
Baca juga: