Beberapa malam ini saya sering mendengarkan
lagu-lagu nasional. Lagu-lagu ini, dulu, saat saya masih kecil, menjadi lagu
wajib. Lagu itu wajib dihapalkan dan dinyanyikan saat pelajaran kesenian atau
acara-cara lain di sekolah.
Salah satu
lagu yang saya dengarkan berkali-kali adalah lagu Rayuan Pulau Kelapa. Lagu ini
liriknya sangat cocok dengan artikel yang mau saya buat untuk pertengahan bulan
Agustus ini. Selain itu, lagu yang saya dengarkan itu aransemennya bagus
sekali. Mendengarkannya benar-benar menghibur dan menginspirasi.
Saya mendapat
tugas menulis dengan tema Indonesia kaya. Tujuan saya mendengarkan lagu-lagu
itu memang untuk mendapatkan inspirasi bagi tulisan saya. Inspirasinya bahkan
sampai agak luber kebanyakan. Jadi agak repot untuk membuatnya menjadi tulisan
sederhana yang tidak lebih dari 500 kata.
Lagu Rayuan Pulau Kelapa, yang berhasil
menarik perhatian saya itu, ternyata juga berhasil mengantarkan saya ke alam
mimpi tadi malam. Saya masih terbayang-bayang lagu itu ketika terbangun tadi
pagi. Saya penasaran, siapakah orang yang membuat lagu ini?
Paginya, pagi ini, saya mencari
informasi tentang penulis lagu ini. Agak-agak merasa “berdosa” juga sebenarnya.
Bukankah lagu ini termasuk lagu wajib? Seharusnya semua orang, termasuk saya,
sudah tahu siapa penciptanya. Hehehe…
Setelah browsing, saya baru tahu (atau baru ingat), lagu Rayuan Pulau
Kelapa diciptakan oleh Ismail Marzuki. Seorang seniman yang akrab disapa Maing
ini dilahirkan di Kwitang, tempat yang sering saya datangi. Dia dilahirkan
tanggal 11 Mei 1914. Namanya juga diabadikan menjadi nama pusat kesenian yang
cukup sering saya datangi. Taman Ismail Marzuki adalah tempat saya sering
nonton film, nonton teater, menikmati pameran lukisan, dan juga nongkrong
bersama teman-teman. Namun, itu tidak pernah membuat saya tertarik mengenal
orang yang namanya digunakan sebagai nama tempat ini. Saya makin merasa “berdosa”
karena tidak tahu apa-apa tentang seniman ini. Padahal, kami berbagi “tempat
main” yang sama. Kami tidak pernah bertemu karena hidup di zaman yang berbeda.
Saya baru mulai mengenalnya ketika membaca
biografinya dan mendengarkan lagi lagu-lagu ciptaannya. Dikisahkan kalau Maing
adalah anak pintar yang suka menolong. Maing yang sangat berbakat musik itu
gemar berpakaian rapi, berdasi, dan sepatu mengkilat. Kalau yang ini agak
ironis karena saat ini, orang-orang yang sering beredar di pusat kesenian yang
menyandang namanya itu hampir tidak ada yang tampil rapi, walaupun sama
berbakatnya di bidang musik.
Maing dilahirkan dalam keluarga yang
cukup berada. Pak Marzuki, ayahnya, setiap tahun membelikan anak lelakinya ini alat-alat
musik. Pak Marzuki juga membelikan gramofon untuk Maing. Maing tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Dia memainkan alat-alat musik itu dan menciptakan lagu. Lagu
pertamanya berjudul O Sarinah. Sudah nemu di YouTube. Ada 2 lagu O Sarinah. Ada
yang dinyanyikan Waljinah dengan bahasa Jawa, dan ada yang berbahasa Belanda.
Pada usianya yang masih muda, Maing
sudah bisa memainkan berbagai alat musik. Suatu saat, seorang teman Maing
memberikan sebuah saksofon. Tak disangka, ternyata saksofon ini membawa
penyakit paru-paru yang diidap oleh temannya itu. Sejak saat itu, penyakit
paru-paru mengganggu tubuh Maing yang kurus. Penyakit inilah yang kemudian
merenggut nyawanya di usia 44 tahun.
Setelah lagu perdananya ini, Maing
menciptakan ratusan lagu lagi. Ada beberapa lagunya yang direkam di piringan
hitam dan beredar sampai ke Singapura dan Malaysia. Maing juga menjadi pengisi
suara di beberapa film.
Lagu-lagu
perjuangan diciptakannya saat Jepang datang dan mencengkeram tanah air kita.
Lagu adalah bentuk perlawanannya pada pendudukan “saudara tua” itu. Beberapa
lagunya dijadikan lagu wajib buat anak-anak sekolah waktu saya kecil dulu, antara
lain Rayuan Pulau Kelapa, Indonesia Pusaka, dan Gugur Bunga.
Tadi malam, saya juga mendengarkan
lagu Gugur Bunga. Lagu ini sering diperdengarkan bila ada yang wafat. Lagu ini
juga yang pernah mengiringi pemakaman almarhum kakek saya tercinta. Maing
menciptakannya ketika ayahnya meninggal dan dia terlambat mengetahuinya. Maing baru
tiba ke makam ayahnya beberapa hari setelah ayahnya itu berpulang.
Memiliki seorang warga negara
bernama Ismail Marzuki adalah sesuatu yang seharusnya disyukuri oleh bangsa
ini. Warisannya memang seharusnya dilestarikan. Memberi nama sebuah pusat
kesenian dengan namanya adalah tindakan yang tepat. Sayangnya, anak-anak muda
zaman sekarang banyak yang kurang peduli, macam saya gini, deh. Bayangkan saja
kalau saya tidak pernah mendapat order tulisan dan tidak memiliki kebiasaan
mendengarkan musik, Ismail Marzuki hanya akan menjadi nama sebuah tempat. Saat
ini, bagi saya, Ismail Marzuki adalah inspirasi. {ST}