Pohon klengkeng tanamanku, sudah lebih itnggi dari rumah |
Berkunjung ke rumah tempat kita tinggal semasa kecil,
selalu membangkitkan kenangan. Demikian pula yang saya rasakan ketika
berkunjung ke rumah di Jalan Sudirman, Palangkaraya. Rumah milik almarhum kakek
saya yang menjadi tempat tinggal saya sampai saya lulus SMP.
Sewaktu kecil dulu, saya pernah menanam sebatang pohon klengkeng,
yang sering juga disebut dengan lengkeng (atau kebalikannya, ya?). Pohon ini
saya tanam dari biji buahnya. Saat itu, buah klengkeng termasuk langka di
Palangkaraya. Buah klengkeng hanya bisa kami nikmati kalau ada oleh-oleh dari
Jakarta. Rasa manisnya yang saya sukai membuat saya bertekad untuk menanam
pohonnya. Tujuannya supaya kalau nanti pohonnya besar dan berbuah, saya bisa
makan buahnya sepuasnya langsung dari pohonnya.
Dengan tekad bulat seorang anak kecil, saya menanam biji
klengkeng itu di kaleng bekas permen Fox. Biji-biji itu saya pilih dari
beberapa buah yang saya makan, tentu saja buah yang manis rasanya. Saat itu,
ilmu tentang sifat tumbuhan biji belum tentu sama dengan tumbuhan induknya
belum sampai ke otak kecil saya. Jadi, saya yakin sekali kalau suatu saat
nanti, saya akan memakan buanyaaak buah klengkeng dengan rasa yang sama.
Dari
beberapa biji yang saya tanam, ada beberapa yang tumbuh menjadi pohon kecil.
Saya menyambut tunas kecil ini dengan gembira. Kegembiraan itu saya tunjukkan
dengan merawat tunas-tunas itu, menyiramnya setiap hari, mencabuti rumput kecil
yang berani tumbuh di dekatnya, sampai memberinya pupuk. Pupuknya ngambil punya
ortu saya, yang juga suka bercocok tanam.
Dari
beberapa tunas yang tumbuh di kaleng itu, ternyata ada sebuah pohon yang
tumbuhnya paling subur. Pohon itu “mengalahkan” pohon-pohon lainnya. Akhirnya,
hanya tersisa 1 pohon inilah yang tumbuh di kaleng. Ketika akhirnya pohon ini
bertambah besar dan tak muat lagi di kalengnya, saya memindahkan pohon kecil
itu ke tanah. Saya dulu mempunyai sebidang tanah kecil sebagai kebun pribadi,
di dekat pohon melati.
Kebun
kecil saya yang berisi aneka tanaman itu suatu saat dirusak oleh anjing, entah
milik siapa gerangan anjing itu. Bunga-bunga tanaman saya berantakan tak
karuan. Namun, pohon ini terus bertahan. Akhirnya, saya memindahkan pohon ini
ke tempat lain, ke dekat pohon rambutan di bagian samping rumah. Tempat itulah
yang menjadi tempatnya bertumbuh hingga bertahun-tahun kemudian.
Setelah
pohon itu dipindahkan, dan setelah kebun kecil berantakan, saya menjadi kurang
bersemangat lagi berkebun. Pohon itu pun tidak lagi terawat. Dia tumbuh dan
berjuang sendirian tanpa pernah saya sirami lagi. Sampai akhirnya saya harus
meninggalkan Palangkaraya untuk hijrah ke Jakarta.
Pohon
itu terus bertumbuh menjadi besar. Saya tak lupa menengoknya bila ke
Palangkaraya, termasuk juga saat bulan Desember 2012 yang lalu. Saat ini,
keluarga kami sudah tidak tinggal di rumah itu lagi. Rumah itu akan dijadikan
rumah kenangan atas pemiliknya, almarhum kakek saya. Kami tinggal di rumah lain
yang letaknya tak jauh dari situ.
Dengan
berjalan kaki, saya dan adik-adik berjalan kaki menuju rumah masa kecil kami.
Rumah yang saat itu sedang direnovasi, menjadi wilayah tongkrongan para tukang
bangunan yang tidak kami kenal. Kami hanya melihat rumah itu dari halamannya.
Termasuk juga melihat si pohon klengkeng yang tumbuh di halaman samping rumah.
Saat
itu, saya menjadi sedih. Pohon yang saya tanam dulu, daunnya banyak yang
kering. Terlihat seperti setengah mati. Langsung terbayang cerita awal mula
adanya pohon ini di dunia, di mana saya juga ikut berperan dalam
pertumbuhannya. Sambil berjalan berlalu, saya hanya bisa menghibur diri,
setengah mati kan artinya juga setengah hidup. Masih ada harapan hidup. Semoga
pohon itu terus hidup dan tumbuh menjadi besar. {ST}