Saya
agak terkejut mendengar perkataan seorang pendeta. Perkataan itu disampaikan
dalam sebuah forum yang dihadiri oleh jemaat-jemaat GKI. Saya menjadi salah
satu utusannya.
“Bayangkan,
masa pendeta juga harus berkhotbah untuk anak kecil?” tanyanya sambil tertawa.
Saya
sempat bengong terdiam mendengarnya, sambil berusaha mendengar lanjutannya. Dia
sebenarnya bercanda atau serius, ya? Setelah itu sang pendeta bercerita tentang
tantangan berbicara dengan anak kecil. Kesan yang tertangkap oleh saya, pendeta
itu menganggap anak-anak kecil tidak cukup penting untuk mendengarkan
khotbahnya. Selain itu dia juga mengungkapkan tantangan bahwa tidak mudah untuk
dapat berbicara suatu hal yang dapat dimengerti oleh anak kecil.
Saya tahu memang tidak mudah berbicara dan dapat
dimengerti oleh anak-anak. Berbicaranya, sih, memang mudah. Dapat dimengerti
itulah yang menjadi tantangan sendiri. Saya juga kerap merasakannya pada saat
berhadapapan dengan anak kecil maupun saat menulis artikel yang pembacanya
adalah anak-anak kecil.
Saya berusaha untuk konsentrasi ke acara selanjutnya,
namun pikiran itu mengganggu saya. Saya menjadi gelisah mendengarnya. Apa salahnya
pendeta berkhotbah pada anak-anak? Anak-anak itu, kan, jemaat Tuhan juga. Yesus
Kristus pun memberi tempat khusus untuk anak-anak. Dalam Alkitab ada tertulis
bahwa Yesus memarahi murid-murid yang menghalangi anak-anak untuk datang. Yesus
bahkan sering digambarkan sebagai pria gondrong berwajah ramah (dan ganteng) yang
dikelilingi oleh anak-anak kecil. Cerita itu menjadi inspirasi dalam kehidupan
saya. Saya tumbuh menjadi orang yang suka pada anak-anak kecil. Saya bahkan
menjadi penulis cerita anak.
Saya jadi berprasangka pada pendeta ini. Jangan-jangan
ia hanya mau berkhotbah di depan orang dewasa. Orang dewasa tentunya lebih
dapat mengontrol diri saat mendengar khotbah. Bagaimana pun bosannya, mereka
tidak akan berteriak ataupun lari dari tempatnya. Kalaupun ngabur, pasti dalam
keheningan. Diam-diam melangkah keluar sambil mengendap-endap. Berbeda dengan
anak kecil yang hanya dapat bertahan duduk manis selama beberapa menit.
Anak-anak akan mulai berkeliaran tanpa aturan saat rasa bosan datang.
Sebagai sesama manusia, saya dapat memahami kalau
pendeta itu lebih memilih berkhotbah di depan orang dewasa. Pendeta juga
manusia, kan? Namun identitasnya sebagai pendeta Kristen membuat saya agak
terganggu. Kristen artinya pengikut Kristus, dan Kristus tidak begitu. Dia
menyambut anak-anak kecil dan menerima mereka untuk tetap dekat pada-Nya.
Berbicara atau berkhotbah pada anak-anak itu bukanlah sesuatu yang dapat
dipilih. Itu bukan pilihan. Itu adalah kewajiban. {ST}