Bue adalah sebutan ‘kakek’ dalam Bahasa Dayak Ngaju. Aku memanggil kakekku ‘Bue’ karena dia adalah orang yang berasal dari Dayak Ngaju dan kami memang diajarkan untuk memanggilnya seperti itu. Aku mengenal Bue hanya selama 9 tahun dari masa awal hidupku. Dia dipanggil Sang Pencipta pada bulan yang sama dengan ulang tahunku yang ke-9.
Tulisan ini adalah kenanganku akan Bue, dimana tanggal 2 Februari adalah tanggal kelahirannya di KTP. Tanggal pastinya? Hanya Yang Mahatahu yang tahu.
Bue dengan kaos oblong putihnya yang sedang menulis atau membaca di tengah tumpukan kertas di kamarnya. Dia duduk di sebuah kursi hitam yang ada rodanya menulis catatan hariannya, tepat seperti yang sering aku lakukan di malam hari. Bedanya, cara sang cucu lebih canggih dengan teknologi jaman sekarang, tiktiktiktik. Kalau isinya? Sepertinya belum bisa mengalahkan catatan Bue. Ternyata kursi yang dia gunakan itu adalah kursi yang sama dengan yang aku duduki sekarang, joknya sudah diperbaiki tentunya. Kursi yang aku ambil dalam keadaan jok sobek pada saat rumah Bue & Eyang yang terletak di sebelah rumah orang tuaku itu dijual.
Bue adalah orang yang selalu membeli ikan mas untuk mengisi kolam ikan di rumahnya, walaupun ikan-ikan itu tak lama kemudian akan menemui ajalnya akibat perbuatan para cucu bandelnya. Saat itu, gank cucu bandel beranggotakan 6 orang, 3 laki-laki, 3 perempuan.
Bue yang memelihara sepasang kura-kura di ember dalam kamar mandi. Entah apa alasannya, sampai hari ini masih menjadi pertanyaan bagiku.
Bue juga pernah memelihara bejuku, hewan sebangsa kura-kura tapi berukuran besar di bawah rumah panggung. Rumah panggung besar bernama LMAXI di Banjarmasin.
Bue dengan kaca mata hitam kebanggaannya, berjalan kesana-kemari menyambut hari.
Bue yang sering bercerita dan berpantun di teras sebuah rumah besar yang ada pohon mangga dan rambutannya. Rumah besar yang di depannya terpampang namanya tapi tidak diakuinya di depan cucunya ini. Katanya, itu nama jalan ke Tangkiling. Dan ejaan jaman dulu ‘Tj’ itu dibaca ‘C’. Dilanjutkan dengan pelajaran ‘Dj’ dibaca ‘J’, ‘Oe’ dibaca ‘U’.
Bue dengan mobil besarnya yang lebih besar dari Tomtom (mobil keluarga kami) selalu membuatku senang kalau datang ke rumah. Mobilnya bisa untuk main rumah-rumahan dengan kakakku sebagai tamunya (dengan sedikit paksaan) dan aku yang punya rumah.
Bue yang menyanyikan lagu ‘Hatalla Sinta’ hampir di setiap pertemuan keluarga. Lagu ini adalah satu-satunya lagu ‘Nyanyin Ungkup’ yang berhasil dihapal oleh keluarga kami yang berkembang menjadi berbagai macam suku karena pernikahan anak-anak Bue.
Bue memberikan nama ‘Hamaring’ padaku, yang artinya air kehidupan. Nama unik yang sampai tulisan ini dibuat hanya dimiliki oleh 1 orang pemilik account facebook. Selain aku, pemilik nama Hamaring yang kukenal hanya 1 orang lagi, seorang anak beribukan Orang Dayak yang tinggal di Bogor.
Bue yang pernah menceboki aku ketika masih kecil dan belum bisa cebokan sendiri. Menurut sejarah yang pernah dicatat dan diingat, aku adalah satu-satunya orang yang pernah dicebokin Bue hehehe...
Bue adalah orang yang mengajarkanku menghitung perkalian dengan tangan, pelajaran yang masih kuingat sampai saat ini. Pelajaran yang membuatku mendapatkan nilai sempurnaku yang pertama dalam pelajaran matematika. ‘Yang tunduk ditambah, yang berdiri dikali’, itu formulanya.
Aku baru tahu kalau dia dikenal orang sebagai orang hebat yang cerdas, pantang menyerah, penuh semangat, ramah, rendah hati dan ganteng penuh pesona justru ketika dia sudah meninggal. Namanya diabadikan menjadi nama bandara, jalan dan beberapa lembaga di daerah asalnya. Ada kerabat yang mengatakan, kalau beberapa sifatnya menurun padaku, yang pasti bukan ‘ganteng penuh pesona’ lah. Suatu pendapat yang wajar mengingat aku adalah keturunannya, tapi menjadi beban juga karena dia bukanlah milikku sendiri.
Sepak terjangku yang agak mirip sering dihubungkan dengannya walaupun aku sangat jarang membawa namanya dalam diriku. Yang kubawa adalah semangatnya.
Yang mungkin cukup parah, aku baru tahu nama aslinya beberapa hari sebelum dia meninggal. Ternyata nama yang ada di pelat depan rumah dan menjadi nama jalan ke Tangkiling itu adalah namanya. Aku memanggilnya Bue, mamahku memanggilnya Bapa. Sebagai seorang anak yang umurnya belum genap 2 digit, aku menyimpulkan kalau namanya adalah Bue Bapa. Nama aslinya aku ketahui ketika orang tuaku menuliskan surat ijin di dalam buku konsultasi untuk wali kelasku. Karena tulisan itu ada di dalam buku yang tak tersegel, maka terbacalah olehku.
Tanpa mengurangi rasa hormat, tulisan ini tidak memuat nama aslinya. Karena, bagi seorang anak berumur 9 tahun, lelaki tua yang menyenangkan dan meninggalkan banyak kesan itu bernama Bue Bapa. Kita akan disambut oleh namanya bila kita mendarat di ibukota Kalimantan Tengah, daerah yang dibangun dan dicintainya.
{ST}