Desa
Tewang Pajangan di tepi Sungai Kahayan adalah desa tempat leluhur saya berasal.
Di desa kecil inilah ayah saya dilahirkan dan menghabiskan masa kecilnya. Nama
desa ini hampir selalu didengungkan dalam pertemuan keluarga kami. Akan tetapi,
kami sangat jarang ke sana. Sepanjang hidup saya, rasanya hanya pernah 3 kali
berkunjung ke desa ini.
Kunjungan
terakhir saya terjadi di awal tahun 2017 ini. Saya dan sepupu-sepupu sengaja
datang untuk berbagi. Ide itu berawal
dari sepupu saya yang akan tinggal di luar negeri. Ia ingin mengungkapkan rasa
syukur dengan berbagi di desa asal orang tuanya. Saya yang memang sudah lama
ingin ke sana segera menyambut baik niat itu.
Pada
waktu yang telah ditentukan, kami berangkat dari Palangkaraya menuju Tewang
Pajangan. Perjalanan menggunakan mobil itu memerlukan waktu sekitar 3 jam.
Papah juga ikut dalam perjalanan ini. Sepanjang perjalanan ia berkisah, bahwa
dulunya perjalanan pulang ke kampungnya itu memakan waktu sangat lama.
Perjalanan menggunakan jalur air itu memakan waktu seharian. Perjalanan itu
juga menjadi perjuangan tersendiri karena melawan arus sungai.
Rumah Panggung
Berbahan Kayu
Rumah
leluhur kami itu bentuknya rumah panggung berbahan kayu. Saat ini rumah ini
berada di sebuah lapangan rumput yang di sekitarnya banyak sapi-sapi merumput.
Rumah itu letaknya cukup jauh dari tepi Sungai Kahayan. Dulunya, rumah itu
letaknya tak terlalu jauh dari tepi sungai. Ada cerita tersendiri mengapa rumah
ini bisa berpindah.
Beberapa
tahun yang lalu, rumah ini memang sengaja dipindah. Sungai Kahayan makin lama
makin lebar. Tepian sungainya mengalami erosi sehingga bagian depan rumah
letaknya sudah tak jauh dari tepi sungai. Keadaan itu membuat keluarga kami
prihatin. Akhirnya keluarga besar kami memutuskan untuk memindahkan rumah itu.
Caranya dengan menariknya bersama-sama sambil bergotong-royong.
Saya dikirimi video saat pemindahannya. Rumah kayu itu
sama sekali tidak dibongkar. Dengan komando seorang komandan, rumah itu
bersama-sama diangkat dan digeser perlahan-lahan sampai ke tempatnya sekarang
ini. Nah, di tempat itulah rumah itu berdiri saat saya mengunjunginya di bulan
Januari 2017.
Rumah Kenangan
Papah
Rumah
ini adalah rumah kenangan bagi Papah. Rumah kayu itu adalah tempatnya
dilahirkan dan menjalani masa kecilnya sebagai anak bungsu di Keluarga Singa
Marthinus Toemon. Tangga depan rumahnya adalah tempat bermain bagi Papah.
Jendelanya adalah tempat Papah ngadem saat kelelahan. Beberapa bagian lain di
rumah ini juga menjadi tempat yang mengesankan bagi Papah.
Saat
berada di rumah itu, Papah berkali-kali bercerita tentang masa kecilnya di
rumah itu. Papah yang akrab dengan kakaknya itu menceritakan kenakalan kecil
mereka sambil tertawa. Sepupu saya, anak kakaknya Papah, sampai terharu
mendengarnya.
Papah
bercerita kalau dulu, di matanya sebagai seorang anak kecil, rumah yang
memiliki 3 kamar tidur itu besar sekali.
Rumah itu hampir setiap hari dikunjungi orang. Kakek saya yang adalah seorang
kepala kampung memang sering mendapatkan kunjungan orang. Entah sekadar
bertandang, atau memiliki urusan terkait adat.
Rumah Kosong
Rumah
berbahan kayu itu saat ini tak berpenghuni. Hanya sesekali saja ada keluarga
yang datang untuk menengok dan membersihkannya. Itu membuatnya masih berdiri
kokoh sampai saat ini. Ada lampu kecil sebagai penerangan untuk rumah itu.
Pemasangan listrik di rumah ini memancing pro dan kontra di keluarga besar
kami. Ada yang menganggap wajar pemasangan lampu listrik di situ. Ada juga yang
memandangnya memiliki risiko tinggi untuk terbakar mengingat rumah itu tidak
berpenghuni.
Kekosongan
rumah itu makin terasa karena dinding kayunya pun kosong. Beberapa tahun yang
lalu, dinding itu dipenuhi oleh foto-foto keluarga kami pada saat
keberhasilannya. Ada foto yang sedang wisuda, ada juga yang saat menikah. Ya,
kedua peristiwa itu memang dianggap sebagai ukuran keberhasilan di daerah situ.
Foto saya wisuda juga pernah ada di dinding rumah itu. Entah apa sebabnya,
foto-foto itu berpindah ke rumah kakaknya Papah, sang anak sulung. Akibatnya,
dinding rumah bernomor 44 itu sekarang hanya dihuni oleh sebuah jam dinding.
Rasanya Seperti
Pulang ke Rumah
Memasuki
rumah itu rasanya seperti pulang ke rumah sendiri. Perasaan itu tidak hanya
terjadi pada saya. Sepupu-sepupu saya pun merasakannya. Kami merasa pulang ke
rumah saat berada di rumah leluhur kami itu. Kami bergeletakan di ruang depan
sambil menikmati angin sepoi-sepoi sementara Papah duduk di dekat jendela
favoritnya waktu masih kecil.
Rumah
leluhur saya itu menimbulkan banyak inspirasi bagi saya. Ada beberapa karya
saya yang lahir karena inspirasi dari kunjungan saya ke rumah ini. Padahal itu
hanya berupa kunjungan singkat. Mungkin suatu saat nanti saya perlu menginap di
rumah itu sambil membuat karya tulis baru. {ST}