Ketika mengunjungi Museum Ulen
Sentalu, ada 1 tokoh yang dikisahkan berkali-kali oleh sang pemandu wisata. Dia
adalah seorang putri dari Keraton Mangkunegaran. Namanya Gusti Nurul. Gusti
Nurul sepertinya mendapatkan tempat tersendiri di museum ini. Gusti Nurul juga
mendapatkan tempat tersendiri bagi saya.
Gusti Nurul adalah putri
dari Mangkunegara VII dan permaisurinya, Gusti Ratu Timur. Sebagai putri raja,
Gusti Nurul tumbuh di keraton. Gusti Nurul tumbuh menjadi putri yang cantik dan
cerdas. Gusti Nurul juga tangkas berolahraga, terutama berkuda. Yang membuat
saya kagum bukan itu karena ada banyak sekali putri raja yang cantik dan cerdas
di sepanjang sejarah dunia ini. Saya kagum karena keteguhan Gusti Nurul
memegang prinsip.
Gusti Nurul berprinsip
tidak mau menikah dengan lelaki yang sudah beristri. Ia menolak poligami.
Prinsip semacam ini, di saat ini, adalah prinsip yang biasa saja. Sejujurnya,
mana ada sih perempuan yang mau dimadu? Namun di saat Gusti Nurul tumbuh sebagai
remaja, itu bukanlah suatu yang umum. Poligami adalah sesuatu yang umum di
lingkungan keraton.
Kecantikannya menarik banyak pria-pria berjabatan penting melamarnya.
Presiden pertama kita yang memang penggemar wanita cantik termasuk dalam
deretan pria yang terpesona olehnya. Sutan Sjahrir juga pernah melamarnya.
Tidak ada satu pun yang diterimanya.
Akibat memegang teguh
prinsipnya, Gusti Nurul bisa dikatakan terlambat menikah. Dia menikah ketika
usianya sudah menjelang 30 tahun. Sampai sekarang saja menikah pada usia
menjelang 30 bisa dikatakan terlambat (pengalaman pribadi hehehe), apalagi
untuk ukuran putri keraton saat itu. Gusti Nurul menikah dengan seorang perwira
angkatan darat yang konon kabarnya karirnya biasa saja. Setelah menikah, Gusti
Nurul tinggal di Bandung bersama dengan keluarga barunya.
Walaupun memegang prinsip
yang berbeda dengan orang-orang di zamannya, Gusti Nurul tetap menjunjung
tinggi budaya Jawa. Budaya Jawa memang mengakar dalam kehidupannya. Ayahnya
adalah bangsawan Surakarta, ibunya adalah bangsawan Yogyakarta. Gusti Nurul
tetap bersanggul khas jawa di tengah aktivitasnya. Ia juga pandai menari. Gusti
Nurul pernah diutus ayahnya untuk menari di depan Ratu Wilhelmina, ratu di
Belanda saat itu. Tarian ini biasanya diiringi gamelan. Uniknya, saat itu Gusti
Nurul menari diiringi siaran radio.
Pada hari pahlawan
kemarin, tanggal 10 November 2015, Gusti Nurul wafat. Gusti Nurul wafat dalam
usia 94 tahun. Ia meninggalkan 7 anak dan 14 cucu. Banyak yang merasa kehilangan
karena kepergiannya ini. Saya pun merasa kehilangan, padahal kenal pun enggak. {ST}