Ibu saya, yang saya panggil Mamah,
harus memasukkan insulin ke tubuhnya setiap hari dengan jalan menyuntikkannya.
Cara seperti ini jugalah yang harus dijalani oleh almarhum ibunya, nenek saya.
Alat suntik ini didesain dengan
bentuk seperti pen. Penggunaannya cukup mudah. Hanya tinggal membuka pennya,
menentukan dosisnya dan disuntikkan ke tubuh. Saat ini Mamah sudah cukup ahli
untuk menyuntik dirinya sendiri. Awal-awalnya dulu masih harus dibantu.
Alat suntik bentuk pen yang sekarang
ini lebih sederhana dibandingkan dengan yang digunakan oleh nenek saya dulu.
Jadi, ketika saya harus membantu mengganti jarum ataupun hal-hal lainnya, saya
sudah cukup paham.
Suatu kali, jarum suntik sudah
tumpul dan waktunya diganti. Saya mencari ke beberapa apotik di dekat rumah,
tidak ditemukan. Akhirnya pencarian saya terhenti di sebuah apotik di Jalan
Salemba. Apotik tua yang dulu juga menjadi langganan almarhum nenek saya. Yang
saya ingat dari apotik ini adalah pelayanannya yang lama sekali, termasuk
ketika hendak membeli jarum suntik itu.
Setelah menyebutkan apa yang hendak
saya beli. Sayapun menanti sambil membaca. Benar saja, pelayanannya lama.
Selama menanti, cukup untuk membaca 1 artikel sampai tuntas. Ketika akhirnya
barang yang dicari itu dibawa ke dekat kasir, sayapun datang menghampiri seraya
mengeluarkan dompet.
“Berapa jadinya?” Saya bertanya
karena tak kunjung melihat angka di mesin cash register itu.
“Dua ribu tujuh ratus.” Ibu di balik
mesin cash register menjawab.
“Hah?” Saya kaget karena harganya
yang murah. Rasanya kok tidak sebanding dengan bahan bakar yang saya gunakan
untuk menuju ke sini. Harganya hanya sedikit lebih mahal dibandingkan tarif
parkir.
“Kalau begitu, saya beli 10.” Saya
berkata dengan mantap kepada ibu itu.
“Nanti diambilkan dulu ya….” Ibu itu
perlahan menghilang lagi. Saya sudah berpikiran kalau penantian saya masih akan
lama lagi. Tapi rasanya penantian itu cukup berarti daripada pulang hanya
membawa 1 buah jarum suntik. {ST}