Bpk. Sumarlan Margono adalah orang
yang cukup berpengaruh dalam hidup saya. Tidak hanya dalam kehidupan saya,
tetapi juga pada banyak orang yang mengenal dan dikenal olehnya. Tentu saja
pengaruhnya dalam hal yang baik. Beliau menjadikan hidupnya sebagai panutan
tidak hanya dalam perkataan, tapi juga dengan perbuatannya.
Selama beliau sakit, hampir 3 minggu,
saya belum pernah sekalipun datang menengoknya di RS. Kesibukan dan perjalanan
ke luar kota menghambat kunjungan saya. Kamis, 25 Juli 2013 adalah waktu yang
tepat untuk datang. Hari itu, tidak ada agenda dan jadwal lain yang harus
dipenuhi.
Opa Marlan
Kalau
dilihat dari usianya yang tidak jauh dari bapak saya sendiri, ditambah pula
saya berteman dengan anak Pak Marlan, sepantasnya saya memanggil Pak Marlan
dengan sebutan “Om”. Namun, saya lebih sering memanggilnya dengan sapaan “Opa”.
Entah karena sosoknya yang cocok sebagai opa, karena dia sudah memiliki
beberapa cucu, atau karena saya yang merasa sok muda sampai merasa pantas
sebagai cucu.
Datang di Waktu yang (Tidak) Tepat?
Malam itu, saya
tiba di RS Persahabatan sudah menjelang jam 7 malam. Saya mengira, jam besuk di
RS itu sampai jam 7 atau jam 8, ternyata hanya sampai jam 6 sore. Maka, saya
pun tidak dapat bertemu langsung dengannya yang saat itu sedang terbaring di
ruang ICU. Saat itu, saya merasa tidak datang di waktu yang tepat. Dengan
sedikit menyesal, saya berpikir, “Mestinya tadi datang lebih cepat.”
Makin malam,
keadaan Pak Marlan semakin parah. Kabarnya, secara medis, dia sudah tidak dapat
ditolong lagi. Keluarga sudah menyiapkan diri untuk semua kemungkinan, termasuk
bila Tuhan memanggilnya. Dan ternyata benar saja, Tuhan memanggilnya malam itu.
Kali ini saya berpikir kalau saya datang di waktu yang tepat.
Problem Gue Banget
Saat itu,
saya memutuskan untuk tidak pulang dulu. Secara tulus, saya memang mau membantu
keluarga ini, walaupun belum tahu bagaimana caranya. Masih teringat ucapan Pak
Marlan yang tak pernah terlupakan, “Kalo ada apa-apa, jangan segan-segan nelpon
saya, ya…. Tau, kan, nomernya?” Pak Marlan sampai berkata demikian karena dia
tahu, saya dan adik-adik sering ditinggalkan oleh orang tua.
Dia juga pernah bilang, “Tentu gak
mudah menjadi kepala keluarga sebelum waktunya, bekerja dan menjadi penatua
sekaligus.” Saat itu, saya hanya bisa mengucapkan terima kasih. Saya
betul-betul berterima kasih atas pengertiannya. Apa yang dia sampaikan, kan,
“problem gue banget”. Belum tentu ada orang yang mengerti, apalagi dengan
tambahan tanggung jawab sebagai penatua yang mengetahui terlalu banyak rahasia.
Belakangan saya baru tahu kalau
ternyata beliau juga memasukkan nama saya dalam daftar orang-orang yang
didoakan dalam syafaatnya. Ada tambahan bonusnya pula. Beliau mendoakan saya
untuk mendapatkan jodoh yang seiman.
Sampai Maut Memisahkan
Pak Marlan
dan Bu Asa adalah pasangan idola se-GKI Kwitang. Dengan usia yang sudah tidak lagi
muda, kemesraan mereka mengalahkan remaja-remaja yang baru jadian. Berjalan
sambil bergandengan tangan adalah hal yang sering terlihat dari pasangan ini.
Kemesraan mereka benar-benar terlihat dan menginspirasi banyak orang. Tak heran
beberapa orang (termasuk saya) lebih mengidolakan pasangan ini dibandingkan
dengan Angelina-Brad.
Malam itu,
ketika saatnya tiba bagi Pak Marlan untuk pergi ke rumah penciptanya, saya
turut menjadi saksinya. Pasangan idola ini akhirnya terpisahkan oleh maut.
Sungguh mengharukan menyaksikannya. Mereka telah memenuhi janji itu, “….sampai
kematian memisahkan kita.”
Mencoba Memberikan yang Terbaik
Pak Marlan
terdaftar menjadi jemaat GKI Kwitang yang tempat tinggalnya di Lingkungan I,
sama dengan lingkungan saya. Maka, pelayanan kebaktian untuk pemakamanannya
menjadi tanggung jawab Majelis Jemaat GKI Kwitang, terutama yang di lingkungan
I.
Ini adalah kesempatan bagi saya untuk
memberikan pelayanan yang terbaik. Saya turut ambil bagian menjadi penanggung
jawab kebaktian di malam kedua beliau disemayamkan. Dengan evaluasi dari
kebaktian malam sebelumnya, saya menyiapkan kebaktian kedua dengan lebih baik.
Saya meminjam keyboard, menghubungi
pemusik dan “mengganggu” pendeta yang sedang sidang klasis hanya untuk
menanyakan daftar lagu. Saya juga meminta bantuan seorang teman fotografer
untuk mendokumentasikan.
Pelayanan terbaik yang saya coba
berikan ini, sebagai tanda terima kasih saya pada pengertian perhatian beliau
kepada saya ketika hidupnya. Di saat yang sama, saya juga jadi “tersentil”
untuk pelayanan saya yang lain. Apakah saya juga akan memberikan yang terbaik
ketika orang yang meninggal tidak sebaik Pak Marlan?
Rest in Peace
Saat ini,
Pak Marlan sudah menyelesaikan tugasnya di bumi ini. Tentunya beliau sudah
beristirahat dengan tenang bersama Sang Pencipta, sudah terbebas dari segala
macam penyakit dan masalah. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan
kekuatan dan kesabaran untuk melanjutkan kehidupan. Rest in Peace, Opa Marlan.
{ST}