Pagi
hari Selasa, tanggal 20 Mei 2014, saya dikejutkan oleh telepon yang tak
terjawab dari Pdt. Lithos. Ada 2 misscall
di HP saya. Saya melihatnya ketika sedang bersiap-siap mau berangkat kerja.
Karena terburu-buru, saya tidak langsung menelpon balik. Saya bersiap-siap
dulu, baru kemudian menelpon balik. Saat itu, saya pikir telepon itu tidaklah
sepenting ketika saya menjadi sekretaris majelis dulu, di mana urusan bapak-bapak
pendeta itu menjadi urusan saya juga.
Ketika akhirnya bisa menelpon Pak
Lithos, beliau mengabarkan kalau Bang Dharma, abangnya Norma ada menelpon.
Katanya Norma sampai jam segini belum bangun-bangun dari tidurnya. Tubuhnya
dalam keadaan dingin. Bang Dharma minta tolong untuk menghubungi dr. Eveline
Sinuraya, seorang dokter yang juga teman kami di gereja. Pak Lithos, yang juga
tidak berhasil menelpon dr. Eveline meminta saya untuk menghubungi dokter itu
dan kalau bisa datang ke rumah keluarga Butarbutar.
Ingin rasanya saya ke rumah Keluarga
Butarbutar yang memang tidak jauh dari rumah saya itu. Saya sempat galau untuk
mengambil keputusan. Meneruskan perjalanan ke kantor atau ke rumah Norma.
Akhirnya saya memutuskan untuk ke kantor. Pekerjaan saya sudah terbengkalai
selama beberapa hari karena saya sempat kurang sehat dan setelah itu pergi ke
Jogja. Saya pikir, tentunya akan ada orang-orang lain yang membantunya. Di
tengah kemacetan, saya juga menyempatkan diri untuk meminta pertolongan
teman-teman di group WhatsApp.
Dia Sudah Pergi
Tak lama kemudian, saya mendapat
telpon dari Pak Hatoguan Sitompul, seorang penatua GKI Kwitang dengan wilayah
pelayanan di Lingkungan 1, wilayah tempat rumah saya dan Norma berada. Pak
Hatoguan mengabarkan kalau Norma sudah pergi ke rumah Bapa di Surga. Norma
sudah meninggal. Pak Hatoguan yang juga ketua Komisi Kedukaan mengatakan kalau
dia akan membantu proses pemakaman dan beres-beresnya. Dia dan teman-teman lain
akan mengurusi surat keterangan kematian, dll.
Mendengar
berita kematian Norma membuat saya sangat sedih. Jalanan super macet yang
seharusnya membuat saya deg-degan takut terlambat itu tidak menjadi beban
pikiran bagi saya. Saya memberitakan hal itu kepada beberapa orang dan memasang
status BBM, RIP Norma.
Perjamuan Kudus Terakhir
Tugas terakhir saya sebagai penatua
adalah melayani perjamuan kudus ke rumah jemaat. Salah satu jemaat yang
dilayani itu adalah Norma. Saat itu, kondisi badan Norma sangat lemah sehingga
hanya bisa berbaring. Norma sudah tidak bisa lagi ke gereja. Karena itulah
penatua dan pendeta yang melayaninya ke rumahnya. Norma sudah tidak lagi
tinggal di rumah kosnya, dia kembali ke rumah orang tuanya di Cempaka Baru.
Ketika kami datang, Norma hanya bisa
tiduran di kamarnya. Farel, keponakan tersayangnya yang sedang libur, turut
menemani kami. Perjamuan kudus kami lakukan di kamarnya. Beberapa orang,
termasuk saya, memilih duduk di kasur Norma yang diletakkan di lantai.
Bang Dharma, abangnya Norma,
sebenarnya meminta kami untuk melayani perjamuan kudus malam harinya saja, saat
seluruh keluarga berkumpul. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan hari itu juga.
Jadwal Pak Pendeta tidak memungkinkan untuk pelayanan malam hari itu. Pdt.
Lithos menyarankan untuk diadakan kebaktian lingkungan di lain hari.
Ketika Norma tahu tentang ini, dia
juga menyetujuinya. Lebih baik ada hari lain untuk kebaktian, jadi yang datang
bisa lebih banyak.
“Lo dateng ya kalo ada kebaktian di
sini. Jangan karena sudah nggak jadi majelis trus nggak dateng,” demikian kata
Norma dengan suaranya khasnya yang agak melengking.
“Iyaaa…dateng,” jawab saya sambil
tertawa-tawa.
Datang ke Kebaktian
Beberapa hari setelah perjamuan
kudus, ada kabar kalau di rumah Norma akan diadakan kebaktian lingkungan,
tepatnya tanggal 13 Mei 2014. Saya, yang sudah berjanji mau datang itu, tentu
saja berniat mau datang. Namun kenyataan berkata lain. Hari itu saya sakit
kepala dari pagi. Sakit kepala itu kemudian disusul dengan sakit perut, mual
dan muntah. Kondisi badan saya tak kunjung membaik ketika tiba waktunya
kebaktian. Saya tidak datang ke kebaktian di rumah Norma.
Selasa pagi itu, ketika saya tahu
Norma sudah meninggal, saya rasanya sangat menyesal. Bisa dikatakan, datang ke
kebaktian di rumahnya adalah permintaan terakhirnya ke saya. Rasa menyesal dan
sedih itu akhirnya tidak bisa tertahankan lagi. Saya menangis tersedu-sedu di
mobil. Mobil saya tepikan ke pinggir jalan dulu.
Dengan mata basah penuh air mata
ditambah penyesalan dan rasa sedih, rasanya sangat sulit untuk berkonsentrasi. Perlu
perjuangan yang tidak mudah untuk sampai ke kantor. Kepadatan jalanan yang
rasanay lebih dari biasa itu menambah beban pikiran saya karena saya sudah
pasti akan tiba terlambat di kantor.
Malamnya, diadakan kebaktian
penghiburan di rumah Norma. Saya dan teman-teman datang dan juga
mempersembahkan nyanyian. Datang ke kebaktian ini membuat saya tidak bisa
menahan air mata. Saya memenuhi janji saya untuk datang ke kebaktian di rumah
Norma, kebaktian penghiburan atas wafatnya Norma.
Selalu Ceria
Norma yang saya kenal adalah orang
yang selalu ceria. Keceriaannya selalu terdengar dari suaranya yang agak
melengking dan sedikit bawel. Keceriaan itu juga dibagikannya di statusnya di
media sosial. Keceriaan itu yang selalu menjadi kenangan atasnya.
Ketika pertama kali saya mengetahui
Norma terkena kanker, belum banyak orang yang tahu. Norma belum secara terbuka
mengungkapkan ke banyak orang. Saya, yang juga tahu Norma punya masalah lain
yang tidak mudah, merasa sangat prihatin dan berusaha semampu mungkin untuk
menolongnya.
Saat Norma secara terbuka
mengumumkan kondisinya kepada dunia, reaksi dari para kenalan sangat
menakjubkan. Banyak yang mendukungnya dengan doa, semangat dan juga dana.
Banyak orang yang mengasihi Norma. Walaupun demikian, dia masih menjadi orang
yang tidak mau dikasihani.
Perjuangan Norma ketika menghadapi
kanker ini tidak mudah. Banyak kalanya dia berjuang tanpa dukungan orang
terdekat. Namun, itu tidak membuatnya mengutuk Tuhannya. Ada kalanya dia
mengeluh ketika sakit sudah tidak tertahankan. Namun, sekali lagi dia selalu
memuji kebaikan Tuhan. Rasa syukurnya itu sering dibagikannya di status
Facebooknya. Rasa syukur yang menjadi inspirasi bagi banyak orang termasuk
saya.
Sekarang Norma sudah mengakhiri
pertandingannya. Tugasnya di dunia ini sudah selesai. Saatnya bersuka cita
bersama Sang Pencipta di Surga. Jenazah Norma dimakamkan di TPU Pndok Rangon
pada hari Rabu, 21 Mei 2014, sehari setelah wafatnya. Rest in peace, Norce! {ST}