Jalan layang Hamka
adalah salah satu jalan layang non tol terpanjang di Jakarta. Jalan layang ini
berada di atas ruas Jalan Casablanca. Jalan sepanjag 2,3 km ini diharapkan
dapat mengurai kemacetan di daerah sekitarnya. Saya berkesempatan untuk
memotret jalan ini dari atas. Saya memotretnya dari jendela di lantai 23 sebuah
gedung yang beralamat di jalan itu.
Pemerintah DKI Jakarta
memberikan nama Jalan Hamka untuk jalan layang non tol ini. Hamka adalah nama
pena dari Haji
Abdul Malik Karim Amrullah. Hamka diambil dari singkatan namanya. Selain
dikenal sebagai Prof. Dr. Hamka, ia juga dikenal dengan nama Buya Hamka. Selama
hidupnya, Buya Hamka pernah menjadi wartawan, penulis, pengajar, dan juga
politisi. Ia juga pernah menjadi ketua MUI. Salah satu keputusannya yang paling
kontroversial adalah mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam untuk perayaan
Natal bersama. Ia akhirnya mengundurkan diri karena saat diminta untuk mencabut
fatwa itu.
Walaupun tidak pernah mengenalnya
secara pribadi. Saya salut pada Buya Hamka. Kami memang berbeda agama, namun
ada 1 kesamaan pandangan. Menurut saya perayaan Natal bersama dengan umat
beragama lain tidak perlu dilakukan. Perayaan Natal adalah bagian dari ibadah
orang Kristen. Ibadah adalah sesuatu yang sangat pribadi bagi saya. Adanya
orang-orang yang datang tanpa mengerti maknanya jadi mengurangi arti ibadah itu
sendiri. Apalagi kalau orang tersebut datang karena terpaksa. Arti ibadah pun
akan menjadi tak bermakna apabila perayaan itu hanya menjadi sebuah perayaan
tanpa makna. Kepedulian pada sesama yang beragama lain dapat ditunjukkan dengan
mengucapkan selamat tanpa perlu hadir dalam kegiatan ibadahnya.
O ya, yang
menurut saya tidak perlu itu bukan berarti tidak boleh. Lagipula saya bukanlah
orang yang berhak mengharamkan sesuatu. Kalau misalnya ada yang mau datang dan
ikut, silakan saja. Namun kalau dijadikan perayaan dengan mengundang
orang-orang dari agama lain, kok, kesannya hanya sebagai selebrasi, ya…. Buya
Hamka tetap kukuh dengan pendiriannya. Ia kemudian mengundurkan diri sebagai
ketua MUI saat diminta menarik fatwanya.
Buya Hamka banyak
menuliskan karya-karya sastra. Yang paling terkenal adalah novel berjudul
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Novel ini makin terkenal karena ada yang
menudingnya menjiplak karya orang lain. Sampai sekarang saya belum memiliki
kesempatan membaca karya-karyanya.
Saya beberapa kali melewati Jalan
Hamka. Ada beberapa kejadian yang masih saya ingat. Salah satunya adalah saat
pertama kali melewati jalan baru ini. Saat itu masih pagi, saat orang-orang di
Jakarta berangkat bekerja. Saya menjalankan mobil kecil saya di ruas jalan ini
dengan perlahan. Saya pikir saya akan bertemu dengan banyak kendaraan di atas
jalan ini. Ternyata jalanan nyaris kosong. Lowong. Saya bisa melajukan kendaraan
saya secepat mungkin. Sepertinya tujuan untuk mengurai kemacetan di sekitarnya
saat itu belum tercapai.
Kali lain, saya melewati jalan ini
di malam hari. Seperti sebelumnya, jalan ini pun sepi. Saya dapat merasakan
angin bertiup di sisi mobil saya. Suasana menjadi sedikit menyeramkan. Makin
menyeramkan lagi ketika penunjuk bahan bakar mobil saya sudah menunjukkan
minimnya bahan bakar. Khawatir juga kalau sampai kehabisan bensin di tengah
jalan.
Jalan layang super panjang di
Jakarta itu diberi nama Hamka untuk mengenang jasa Buya Hamka. Pemerintah DKI
Jakarta juga ingin generasi muda tidak melupakan teladannya. Semoga saja tujuan
itu bisa tercapai, ya…. Selama ini, nama-nama pahlawan yang disematkan menjadi
nama jalan seakan-akan hanya menjadi sebuah tempat. {ST}