Salah
satu prestasi terbesar pemerintahan awal di Kalimantan Tengah adalah jalan raya
dari Palangkaraya ke Tangkiling. Prestasi ini makin dikenang karena kualitas
jalannya yang baik. Sebelumnya, Palangkaraya – Tangkiling dihubungkan (atau
dipisahkan) oleh hutan lebat dan rawa gambut yang luas. Jalan sepanjang 34 km
ini dibuat dengan bantuan teknologi dari Rusia. Tak heran kalau jalan ini
dikenal juga dengan nama Jalan Rusia.
Saat
ini, jalan raya Palangkaraya – Tangkiling memiliki nama resmi. Namanya Jalan
Tjilik Riwut. Panjangnya tidak hanya sampai ke Tangkiling. Jalan Tjilik Riwut
terbentang dari Palangkaraya sampai Sampit di Kabupaten Kotawaringin Timur.
Bisa
dimaklumi kalau jalan ini dinamakan Tjilik Riwut. Ia adalah orang yang
menggagas jalan ini. Jalan ini dibuat pada masa kepemimpinannya sebagai
gubernur. Hmmm… Berdasarkan sumber yang cukup bisa dipercaya, sebenarnya Tjilik
Riwut kurang berkenan namanya dijadikan nama jalan. Apalagi pemberian nama
jalan itu diberikan ketika ia belum meninggal.
Membuat
ruas jalan dari Palangkaraya ke Tangkiling bukanlah hal yang mudah. Perlu
peralatan dan teknologi canggih untuk membuka hutan dan membuat jalan yang
stabil di tanah rawa. Adalah keputusan yang tepat untuk bekerja sama dengan
para insinyur dari Rusia pada saat itu. Teknologi Rusia sudah berpengalaman
membuat jalan darat yang panjang untuk wilayahnya yang luas itu. Pendapat saya
ini tidak hanya karena saya cucunya sang penggagas jalan, lo. Itu juga karena
pengetahuan yang saya dapat di kelas kuliah teknik sipil bertahun-tahun yang
lalu.
Pembuatan
ruas jalan Palangkaraya – Tangkiling itu memerlukan waktu bertahun-tahun.
Selain karena medannya yang masih tertutup hutan, para pembangun jalan juga
harus menyelesaikan masalah gambut. Gambut adalah materi yang sangat tidak
stabil sebagai tempat membangun sesuatu. Mereka mengeruk lapisan atas gambut,
kemudian menggantinya dengan susunan batu dan materi padat lainnya. Agak
berbeda dengan teknik cepat menggunakan cerucuk yang sering digunakan di tahun-tahun
setelah itu. Teknik ini lebih mudah dilakukan, cepat pengerjaannya, cepat pula
rusaknya.
Rencana
awalnya, akan ada jalan darat yang menghubungkan kota-kota di tengah pulau
dengan pelabuhan. Jalan Palangkaraya – Tangkiling adalah bagian dari rencana
itu. Pembangunan jalan ini hanya sampai di Tangkiling karena bergesernya
kebijakan pemerintah kita. Ketika presiden berganti, orang jadi alergi dengan
segala hal yang berbau Rusia karena diduga berkaitan dengan ideologi tertentu.
Dengan demikian, pembangunan jalan ini pun dihentikan. Gitu, deh, kalau
teknologi dianggap sama dengan ideologi. Teknologi Rusia ini tidak lagi
digunakan. Maka dimulailah era teknologi instan di negara ini. Entah dari mana
asalnya teknologi yang membuka banyak peluang untuk korupsi itu.
Saya
tidak tahu mengapa ruas jalan yang dipilih adalah ke Tangkiling, bukan ke arah
lain. Ke hulu Sungai Kahayan misalnya. Mungkin karena lalu lintas ke daerah ini
memang diperlukan, atau juga karena susahnya akses melewati sungai. Atau juga
karena jalan ini adalah jalan yang cukup sering dilalui oleh sang gubernur
pertama, Tjilik Riwut.
Bertahun-tahun sebelumnya, Bapak
Tjilik Riwut telah berkali-kali melewati jalan ini dengan berjalan kaki. Perlu
waktu 2 hari untuk menempun perjalanan yang saat ini bisa dicapai dalam waktu
tidak sampai 1 jam menggunakan mobil itu.
Ketika melihat foto tua di mana Bue
sedang bergaya di depan mesin-mesin yang ada crane-nya, saya sudah bisa menebak kalau yang dibangun adalah jalan
menuju Tangkiling itu. Dia memang memantau langsung pembangunan jalan itu. Bue
terlihat nampang dengan celana pendek di depan salah satu mesin. Kira-kira saat
itu dia tahu enggak, ya, kalau jalan yang saat itu dibangunnya itu akan
menyandang namanya? {ST}