Ana

Tampilkan postingan dengan label HUT Kalimantan Tengah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HUT Kalimantan Tengah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 02 Juni 2015

Dirgahayu Kalteng: Minta Perputaran Pegawai




“Kami meminta perputaran pegawai, yang telah lama di udik dipindahkan ke kota dan sebaliknya.”

Tulisan itu adalah isi hati sebagian pegawai yang bertugas di Kalimantan Tengah. Bisa ditebak yang menulisnya adalah orang yang ditempatkan di udik. Rasanya sangat kecil kemungkinannya kalau yang menuliskannya adalah orang yang ditempatkan di kota.

Bertugas sebagai pegawai di Kalimantan Tengah bukanlah hal yang mudah. Daerah dengan akses yang susah membuat banyak orang yang berurbanisasi ke kota. Itu bahkan terjadi sampai saat ini, sampai catatan ini dibuat. Suara rakyat itu, yang dituliskan dengan tulisan tangan bersambung itu, sepertinya masih relevan sampai saat ini.

Kenyamanan tinggal di kota dan pelosok daerah memang sangat jauh bedanya. Pedalaman Kalimantan (yang juga disebut udik) kebanyakan tidak berpenghuni dan susah diakses. Pasti sangat tidak nyaman tinggal di tempat seperti ini terlalu lama. Apalagi kalau berjauhan dengan keluarga. Makin tidak nyaman lagi karena kemungkinan ada rasa iri yang timbul karena ada rekan lain yang pekerjaannya sama tetapi lebih nyaman.

Saya tidak tahu apakah suara hati itu mendapat tanggapan dan tindak lanjut dari kepala pemerintahan. Saya tidak ada pada saat itu, dan tidak pula mau repot-repot mencari tahu. Yang membuat saya terkesan adalah kejujuran yang disampaikan dalam bentuk tulisan itu. Kejujuran itu didokumentasikan oleh orang yang saat itu menjadi kepala daerahnya. {ST}

Senin, 01 Juni 2015

Dirgahayu Kalteng: Panti Asuhan Budi Mulia




            Foto panti asuhan ini menarik perhatian saya. Pada foto ini ada beberapa anak-anak kecil. Sepertinya merekalah penghuni panti asuhan itu. Ada juga foto ibu-ibu agak montok yang wajahnya mirip sekali dengan ibu saya. Ibu itu adalah ibunya ibu saya, alias nenek saya yang sering dipanggil Eyang. Ibu saya memang mirip sekali dengan ibunya. Sampai-sampai pendeteksi wajah di Facebook mengidentifikasi ibu itu sebagai ibu saya. Itu memberi kesan tersendiri bagi saya. Facebook aja bisa ketipu hehehe…

            Kesan lainnya muncul karena papan namanya. Papan nama itu menggunakan ejaan lama dan baru sekaligus. Entah itu disengaja atau tidak. Jatim dan Palangka Raja menggunakan ejaan lama. Budi menggunakan ejaan baru. Bukankah seharusnya Boedi? Seperti pada tulisan Boedi Oetomo itu.

            Terlepas dari ejaannya, sebenarnya ada lagi yang membuat saya terkesan, yaitu fungsi bangunannya. Bangunan itu adalah panti asuhan, tempat menampung anak-anak yang tidak memiliki orang tua. Mengapa terkesan? Karena saya tidak pernah tahu kalau ada panti asuhan di Palangkaraya.

            Selama saya bertumbuh di Palangkaraya, saya benar-benar tidak pernah tahu ada panti asuhan. Panti asuhan hanya saya kenal melalui pelajaran sekolah dan buku-buku bacaan. Di Palangkaraya, anak-anak yang kehilangan orang tuanya akan dipelihara oleh keluarganya.

            Bertahun-tahun kemudian, ketika saya pindah ke Jakarta, saya pernah menjadi panitia sebuah acara yang mau memberikan bantuan ke Kalimantan. Salah satunya bantuan untuk panti asuhan. Saat itu kami mencari-cari informasi panti asuhan mana saja yang perlu diberikan bantuan. Ada orang lain yang mencari informasi tentang panti asuhan di sekitar Palangkaraya. Dari hasil pencarian informasi itu ditemukan hanya 1 panti asuhan dengan jumlah anak asuh 7 orang.

            Jumlahnya yang tidak banyak dan kurang informasi apa yang diperlukan membuat kami mengambil keputusan untuk memberikan bantuan itu ke pihak lainnya yang dirasa dan ditimbang lebih membutuhkan. Kejadian itu terjadi bertahun-tahun setelah Kalimantan Tengah dibentuk. Saya tidak ingat apakah nama panti asuhan itu Budi Mulia atau bukan.

            Pada saat mengetahui hanya ada sedikit anak di panti asuhan, saya cukup senang. Itu artinya hanya ada sedikit anak yang yatim piatu di sana. Atau mungkin saja kebanyakan anak-anak tanpa orang tua diasuh oleh keluarganya yang lain. {ST}

Minggu, 31 Mei 2015

Dirgahayu Kalteng: Upacara Bendera di Depan Kantor Gubernur




            Ketika melihat foto ini, saya langsung bisa mengenali kalau itu adalah kantor gubernur pertama di Kalimantan Tengah. Foto yang merekam upacara bendera di depan kantor gubernur ini terekam dengan baik. Terlihat dari bendera yang berkibar dan penghormatan yang diberikan oleh peserta upacara.

Kantor gubernur Kalimantan Tengah kemudian dipindahkan beberapa tahun kemudian ke lokasi yang lebih luas. Bangunannya tentu saja menjadi lebih megah dan indah. Kantor lama ini tetap digunakan untuk kegiatan lain.

Anak-anak generasi saya tidak banyak yang mengetahui kalau gedung itu dulunya adalah kantor gubernur. Saat saya duduk di bangku SD, kantor gubernur Kalimantan Tengah sudah pindah ke lokasi barunya di dekat bundaran kecil kota Palangkaraya. Kami mengetahuinya karena adanya orang-orang yang menjadi saksi sejarah di keluarga kami.  
Sebagai pengingat, ada dokumentasi berupa film yang berlokasi di kantor ini. Di film itu, ada yang ngantor sebagai gubernur, ada juga yang menjadi figuran petugas pembersih jendela. {ST}

Sabtu, 30 Mei 2015

Dirgahayu Kalteng: Upacara di Bandara Panarung




            Foto ini cukup mengesankan buat saya. Di foto ini, Bapak Tjilik Riwut terlihat sedang berdiri di apron Bandara Panarung. Bersama dengan beberapa orang, kakek saya ini berdiri tegak seperti sedang upacara. Kemungkinan foto ini memang diambil saat upacara. Bendera merah putih yang sedang berkibar menjadi latar belakang foto ini.

Bandara Panarung adalah bandara pertama di Palangkaraya. Saat ini, bandara ini masih digunakan, namun namanya tidak lagi Panarung. Namanya adalah Bandara Tjilik Riwut. Nama bandara diubah menjadi Tjilik Riwut beberapa tahun setelah orangnya wafat. Apakah dulu, saat foto ini diambil, dia pernah menduga kalau namanya akan diabadikan menjadi nama bandara? {ST}

Jumat, 29 Mei 2015

Dirgahayu Kalteng: Pembangunan Jalan Tangkiling




            Salah satu prestasi terbesar pemerintahan awal di Kalimantan Tengah adalah jalan raya dari Palangkaraya ke Tangkiling. Prestasi ini makin dikenang karena kualitas jalannya yang baik. Sebelumnya, Palangkaraya – Tangkiling dihubungkan (atau dipisahkan) oleh hutan lebat dan rawa gambut yang luas. Jalan sepanjang 34 km ini dibuat dengan bantuan teknologi dari Rusia. Tak heran kalau jalan ini dikenal juga dengan nama Jalan Rusia.
            Saat ini, jalan raya Palangkaraya – Tangkiling memiliki nama resmi. Namanya Jalan Tjilik Riwut. Panjangnya tidak hanya sampai ke Tangkiling. Jalan Tjilik Riwut terbentang dari Palangkaraya sampai Sampit di Kabupaten Kotawaringin Timur.
            Bisa dimaklumi kalau jalan ini dinamakan Tjilik Riwut. Ia adalah orang yang menggagas jalan ini. Jalan ini dibuat pada masa kepemimpinannya sebagai gubernur. Hmmm… Berdasarkan sumber yang cukup bisa dipercaya, sebenarnya Tjilik Riwut kurang berkenan namanya dijadikan nama jalan. Apalagi pemberian nama jalan itu diberikan ketika ia belum meninggal.
            Membuat ruas jalan dari Palangkaraya ke Tangkiling bukanlah hal yang mudah. Perlu peralatan dan teknologi canggih untuk membuka hutan dan membuat jalan yang stabil di tanah rawa. Adalah keputusan yang tepat untuk bekerja sama dengan para insinyur dari Rusia pada saat itu. Teknologi Rusia sudah berpengalaman membuat jalan darat yang panjang untuk wilayahnya yang luas itu. Pendapat saya ini tidak hanya karena saya cucunya sang penggagas jalan, lo. Itu juga karena pengetahuan yang saya dapat di kelas kuliah teknik sipil bertahun-tahun yang lalu.
            Pembuatan ruas jalan Palangkaraya – Tangkiling itu memerlukan waktu bertahun-tahun. Selain karena medannya yang masih tertutup hutan, para pembangun jalan juga harus menyelesaikan masalah gambut. Gambut adalah materi yang sangat tidak stabil sebagai tempat membangun sesuatu. Mereka mengeruk lapisan atas gambut, kemudian menggantinya dengan susunan batu dan materi padat lainnya. Agak berbeda dengan teknik cepat menggunakan cerucuk yang sering digunakan di tahun-tahun setelah itu. Teknik ini lebih mudah dilakukan, cepat pengerjaannya, cepat pula rusaknya.
            Rencana awalnya, akan ada jalan darat yang menghubungkan kota-kota di tengah pulau dengan pelabuhan. Jalan Palangkaraya – Tangkiling adalah bagian dari rencana itu. Pembangunan jalan ini hanya sampai di Tangkiling karena bergesernya kebijakan pemerintah kita. Ketika presiden berganti, orang jadi alergi dengan segala hal yang berbau Rusia karena diduga berkaitan dengan ideologi tertentu. Dengan demikian, pembangunan jalan ini pun dihentikan. Gitu, deh, kalau teknologi dianggap sama dengan ideologi. Teknologi Rusia ini tidak lagi digunakan. Maka dimulailah era teknologi instan di negara ini. Entah dari mana asalnya teknologi yang membuka banyak peluang untuk korupsi itu.
            Saya tidak tahu mengapa ruas jalan yang dipilih adalah ke Tangkiling, bukan ke arah lain. Ke hulu Sungai Kahayan misalnya. Mungkin karena lalu lintas ke daerah ini memang diperlukan, atau juga karena susahnya akses melewati sungai. Atau juga karena jalan ini adalah jalan yang cukup sering dilalui oleh sang gubernur pertama, Tjilik Riwut.
Bertahun-tahun sebelumnya, Bapak Tjilik Riwut telah berkali-kali melewati jalan ini dengan berjalan kaki. Perlu waktu 2 hari untuk menempun perjalanan yang saat ini bisa dicapai dalam waktu tidak sampai 1 jam menggunakan mobil itu.
Ketika melihat foto tua di mana Bue sedang bergaya di depan mesin-mesin yang ada crane-nya, saya sudah bisa menebak kalau yang dibangun adalah jalan menuju Tangkiling itu. Dia memang memantau langsung pembangunan jalan itu. Bue terlihat nampang dengan celana pendek di depan salah satu mesin. Kira-kira saat itu dia tahu enggak, ya, kalau jalan yang saat itu dibangunnya itu akan menyandang namanya? {ST}

Popular Posts

Isi blog ini